Ada seorang lelaki yang setengah membungkuk. Tangannya memegang ayam jantan dengan bulu leher yang berdiri sambil berupaya mematuk seekor ayam jantan lainnya yang juga menantang di atas tanah. Karya fotografi Yudhy Kurniawan berjudul “Bakal Calon” ini, mewarnai pameran fotografi yang bertajuk Kendari dalam Gambar yang diselenggarakan oleh Release Fhotography Kendari, sebuah komunitas fotografer yang bermukim di kota peraih Adipura dua kali berturut-turut ini. Pameran ini dibuka secara resmi Wakil Wali Kota Kendari, H. Musaddar Mappasomba.
Saya, yang menghikmati foto itu, bersama puluhan foto lainnya, lama terdiam di hadapan dua ekor ayam jantan yang siap bersabung. Mengapa diberi tajuk “Bakal Calon”? Bukankah “Bakal Calon” melahirkan akronim “balon” yang selalu berasosiasi pada domain politik dan kekuasaan? Di sinilah menariknya memaknai karya ini jika ditinjau dari sudut bahasa dan semantik. Balon adalah kode bahasa yang jika ditarik ke ranah politik berarti seseorang atau sepasang orang yang akan menjadi calon anggota legislatif atau eksekutif. Pertanyaan berikutnya adalah mengapa “balon” digunakan sebagai kode karya fotografi yang berobjek dua (hewan) ayam jantan yang akan berkelahi dan seorang (manusia) sebagai pengadu(domba)nya?
Seandainya foto itu adalah sebuah puisi maka ia bergaya ironi, parodi, sekaligus sarkasme terhadap fenomena pesta demokrasi itu. Para balon yang akan mewakili rakyatnya itu diparodikan layaknya dua ekor ayam jantan yang akan berkelahi. Sebagai ayam jantan yang dijagokan, ia akan berupaya menggunakan berbagai macam cara untuk menumbangkan lawannya. Saling mematuk, menancapkan taji, menyepak, mencakar, dan sebagainya dan sebagainya untuk menjadi pemenang. Siapakah pengadu(domba)nya, sebagaimana seseorang yang memegang satu ayam untuk mematuk ayam yang lain? Dan jika sabung ayam itu selesai, ketika seekor lainnya terkapar, siapakah sesungguhnya yang keluar sebagai pemenang dan menangguk keuntungan? Anda boleh menduganya!
Sebagai penikmati karya fotografi, saya tidak memiliki ilmu dan “alat”yang cukup untuk mengurai pemaknaan saya terhadap karya anak-anak muda Kota Lulo ini. Sence of esthetic sajalah sebagai bekal untuk memandang dan mencoba untuk menulis kembali hasil penghikmatan saya. Begitu juga, ketika harus menulis tiga judul karya yang saya anggap terbaik dan diserahkan pada panitia, semata-mata lahir dari mata subjektif saya.
Sayang sekali, saya menulis catatan ini hanya mengandalkan ingatan belaka pada foto-foto itu. Hal yang membantu saya adalah menulis judul dan sedikit uraian tentang foto yang menarik, di sebuah buku kecil. Seandainya saya membawa kamera dan meng’klik’nya, saya akan menulis sembari melihat ulang foto-foto itu, dan pemaknaan saya akan baharu kembali. Begitu pula seandainya saya posting di facebook nanti, saya bisa mengunggah foto terkait.
Apakah konsep “menjadi sebuah dunia” sebagaimana yang dinyatakan penyair legendaris Chairil Anwar untuk puisi yang berhasil, bisa juga digunakan menjadi kode kualitas/keberhasilan sebuah foto? Sajak yang “menjadi sebuah dunia” sebagaimana yang dijelaskan lebih lanjut oleh Goenawan Mohamad di dalam Setelah Revolusi Tak Ada Lagi(2005:361). Dunia yang baru itu adalah dunia yang diciptakan penyair di dalam sajak-sajaknya yang berasal dari benda (materi) dan rohani, keadaan alam dan penghidupan sekelilingnya dan hal-hal ian yang berhubungan jiwa dengan dia. Dunia yang lahir dari metafora dan citraan-citraan yang segar, unik, baru, serta nilai dan pesan yang mampu menggetarkan hati pembaca. Pengalaman batin yang dirasakan pembaca belum pernah dirasakan ketika membaca teks-teks lain. Dengan demikian, pengalaman yang dirasakan pembaca harus mampu mencerahkan secara lahir, batin, dan spritual. Sebagai sebuah sajak yang “menjadi”, lanjut Goenawan, ia senantiasa bergerak, hadir, menyelinap, setengah sembunyi, tampil kembali dengan isyarat-isyarat baru, mencipta tak henti-hentinya, berubah, dan menangguhkan konklusi.
Salah satu foto yang menarik hati dan mata saya adalah karya Danny K yang berjudul “Sisi Kelam”. Sebuah batang pohon (mungkin Bakau) yang tidak lagi bertangkai apalagi berdaun. Tangkai dan daunnya telah meranggas karena gerusan sampah dan air pembuangan sebuah kali yang bersumber jauh dari dalam perumahan penduduk. Bisa dipastikan, foto itu berlatar Teluk Kendari dengan lumpur yang mengendap, disesaki sampah warga kota. Nun jauh di belakang pemandangan “tidak enak” ini, terdapat bukit hijau (mungkin Nambo dan terusannya). Sebuah ironi. Sebuah sisi kelam, sebagimana judul foto. Kendari yang baru saja mendulang penghargaan kota tertata dan terindah, ternyata meninggalkan setumpuk “sampah” yang meragukan kembali penghargaan itu, pantas atau tidak.
Dari sudut pandang “estetik” foto ini memiliki kualitas sebagai gambar dan sebagai medium penyampai pesan. Penikmat langsung disuguhi setengah batang kayu besar yang mati, berlatar teluk dangkal. Di atas lumpur itu, terdapat sampah-sampah yang “bersumpah” bahwa sesungguhnya kami bukanlah tidak indah dan dicap sebagai penebar kejorokan. Merekalah (para manusia itu, warga & pemerintah) yang memperlakukan atau membiarkan kami seperti ini. Air matanya tumpah menjelma lumpur, mendangkali Teluk Kendari. Batang pohon itu adalah proyeksi atas kesemrautan dan kekotoran yang tidak hanya terjadi di laut, tapi juga di Kendari sebagai sebuah kota. Sebuah dunia yang menjadi.
Sambil menulis catatan ini, saya mengutak-atik sajak lama saya dan mendapatkan sebuah sajak (yang sudah lama saya lupakan) memiliki “korelasi” dengan “Sisi Kelam” Bejo. Inilah sajak saya berjudul “Kau Lihatkah itu, Kekasih”:
benang-benang cahaya rapuh, pepohonan raib
kuntum-kuntum hijau mengerang di radang gergaji.
kau lihatkah itu, kekasih
padang kersang. laut rubuh.
batu-batu menangisi lelumut yang koyak dibantai api.
akar-akar keropos
dan tanah-tanah leluhur
menghambur hambar
lumpur, lumpur
melata
di jalan di langit-langit kota
kekasih
kau sisihkan tabere dan laika mungilmu?
tak lagi ada ruang tempat raung rindu.
tanah dan rumah segera ditandu.
biarkan segala taman segala tanah direnggut
dan kota ini menjelma kuburan sempit
segera kita rampungkan duka
mengemas luka ke dalam tong-tong kenangan
tapi kemana?
mereka lunaskan janji
tuntaskan hari-hari mengubur lumpur
mungkin dosa atau nista yang terlupa.
namun kemana, kekasih?
Kendari, 11 Agustus 2006
Karya seni, sebagaimana dikatakan oleh A.A.M Djelantik, sejatinya memang selalu menawarkan dua sisi: makna/isi dan bentuk/wujud. Wujud atau bentuk mengacu pada kenyataan yang tampak secara kongkret (dapat dipersepsi mata dan telinga) maupun kenyataan yang tidak tampak secara kongkret, yang abstrak, yaitu hanya bisa dibayangkan, seperti suatu yang diceritakan atau dibaca dalam buku. Yah, perkelindanan antara isi dan bentuk, senantiasa melahirkan nikmat indah bagi para apresiator. Rasa nikmat indah, muncul karena adanya pancaindera yang memiliki kemampuan untuk menangkap rangsangan dari luar dan meneruskannya ke dalam. Rangsangan itu diolah menjadi kesan, yang kemudian diteruskan lebih jauh ke tempat tertentu, di mana perasaan kita bisa menikmatinya. Penangkapan kesan luar yang menimbulkan nikmat indah, terjadi melalui dua panca indera kita. mata dan telinga, kesan visual dan kesan akustif atau auditif. Kesan visual itulah, tentunya, yang ditawarkan oleh karya fotografi yang melingkari sebagian Taman Bertaqwa Kota Kendari, 4—6 Maret 2011 lalu.
Salah satu foto yang memiliki kesan visual kuat adalah “Sisa Kejayaan” karya Bejo. Sisa-sisa kebakaran Pasar Baru tahun 2010 silam ditangkap dengan kesan muram, tragis, spiritual, dan menyentuh sisi kemanusiaan. Paling tidak hanya ada dua titik api yang dikepung hitam arang reruntuhan dan sebuah dinding tembok sisa bangunan toko yang tampak perkasa dalam kerapuhan. Api yang tumbuh dalam kegelapan. Atau, setelah kebakaran, tinggal kelegaman yang tersisa. Warna arang yang hitam menegaskan alamat kesuraman yang dilahirkan kebakaran. Reruntuhan bangunan mengguriskan akibat yang disemburkan api. Sedangkan dua titik api yang masih merah menyala(k), adalah sebuah kode bahwa “api” tidak akan pernah padam dan senantiasa dapat menyembur dan meletus kapan saja. Melihat api di dalam foto itu, saya jadi teringat sajak terkenal dari filsuf dan penyair Pakistan, Muhammad Iqbal, kaulah api, bakarlah dunia dengan nyalamu!
Sajak sang pendiri Negara Pakistan di atas, bermakna bahwa tiap-tiap orang adalah “api” bagi kegelapan hidupnya. Juga bisa bermakna bahwa “hitam” dunia harus dibakar dengan ke”terang”an api di dalam diri seseorang. Api di balik puing-puing Pasar Baru Kendari itu juga mengingatkan saya akan api yang diterima Nabi Musa dan lantas membakar habis Bukit Tursina. Api itu juga yang mengenangkan kembali kepada api yang membakar Pasar Mandonga bertahun-tahun silam, di masa pemerintahan Masyhur Masie Abunawas. Masih sempat saya membantu seorang teman, mengangkut pakaian dari dalam los yang panjang. Suasana chaos ketika tiba-tiba lampu padam. Orang-orang berteriak histeris. Sebuah ‘kegelapan” spiritual. Hanya api menyalak dan lalu lalang orang-orang, yang tidak lagi menyelamatkan harta, tetapi menjauhkan nyawa satu-satunya dari sergapan api dan kegelapan. Entah mengapa, tiba-tiba saya membayangkan dunia yang di Sana: Neraka!
Api bisa membakar dan menerangi. Api bisa melahirkan keriangan dan menumpahkan kemurungan. Bagi seorang martir yang menyebabkan tumbangnya rezim Ben Ali di Banggladesh, api adalah penamat riwayat hidupnya sekaligus cahaya pencetus revolusi Mawar. Akan tetapi bagi Nabi Ibrahim, api adalah Taman Mawar. Semakin menyala api dalam pembakarannya, semakin semerbaklah Mawar dalam penghirupannya.
Jika saya mencoba menghubung-hubungkan secara “serampangan” antara apinya Iqbal, dengan apinya Bejo di atas, maka apinya Iqbal membakar gelapnya kehidupan lalu berbuah terang, sedangkan apinya Bejo membakar terangnya kehidupan berbuah gelap. Api, sebagaimana besi, adalah zat yang netral. Fungsinya kemudian bermacam-macam dan berperan ketika berada di tangan manusia. Yah, karya Bejo di atas mengingatkan kita bahwa di saku, lidah, dan jari kita, api bisa berkobar! Sebuah foto lagi, menjadi sebuah dunia.
Salah satu foto (saya lupa judul dan fotografernya) yang berhasil merekam momen penting adalah yang berobjek tiga ekor burung yang berpesta menikmati sebuah mangga. Dua ekor burung di atas mangga yang tinggal setengah dan seekor lagi berada di atas tanah. Terlihat nuansa sukacita mendapatkan mangga yang tergolek lalu menikamtinya. Akan tetapi jika diseksamai, tiga ekor burung itu tidak sedang mematuk sang mangga, tetapi matanya sangat awas melihat sekelilingnya. Mungkin awas terhadap sang fotografer dan kameranya. Sebelum ketiga burung itu terbang, jari-jari fotografer berhasil meng’klik’ momen puitik ini. Saya dapat mengunggah foto ini dari Grup Release Photography Kendari.
Kesan kedamaian dan kesentausaan segera menyergap ketika menatap saksama karya Zabur, “Manusia Sampan”. Ada seorang yang mendayung sampan sendirian, berlatar deretan rumah-rumah sederhana di atas tepi laut. Bagi saya, meskipun berjudul “Manusia Sampan” tetapi yang menjadi “pusat” pandangan mata adalah deretan rumah sebagai latarnya. Mungkin ini para Suku Bajo yang mengidupi kosmologi pesisiran. Suasana sepi dan arome sore menyempurnakan kelengangan sejati. Rumah yang berderet, angin yang diam, dan laut yang tenang adalah wujud persekutuan antara alam dan manusia. Seakan-akan sebuah dunia Yang Lain. Dunia tanpa “suara”. Kearifan lokal adalah suatu keniscayaan. Rumah yang terbuat dari serba alam itu (kayu, bambu, rotan), bentuk dan ukurannya yang “minimalis” adalah wujud kompromi atas kosmologi laut. Mereka tidaklah mungkin mendirikan rumah dari bahan semen dan besi, dengan ukuran besar dan menjulang. Ia akan merusak ekosistem laut dan keseimbangan alam. Hal ini berbeda secara nyata dengan pembangunan ruko di sebagian pinggir jalan By Pass, Kendari. Demi kehadiran ruko, hutan bakau harus diberangus, empang harus ditimbun! Apa boleh buat, kapitalisme, tengah merangsek dan mendapatkan tempatnya. Salah satu foto yang menjadi.
Sebuah foto menawarkan ide menarik dengan objek yang unik: empat daun pintu jendela yang terbuat dari seng, terpasang di kedua sisi dinding rumah. Tiga buah daun jendela tertutup sedangkan satunya lagi terbuka. Foto hitam-putih yang berjudul “Menolak Seragam” karya Arman ini lahir dari ide bahwa keberagaman itu indah dan niscaya. Kebalikannya, keseragaman adalah pemberangusan potensi keunikan dan keindahan. Jika ditarik ke wilayah sosial yang lebih jauh, akhir-akhir ini muncul banyak gerakan “penyeragaman”. Ironisnya, upaya penyeragaman dan keberagaman bertemu dalam dua kutub yang keras dan selalu melahirkan gesekan. Penyeragaman bisa lahir dari penguasa dan dari masyarakat yang “mencintai” singularitas. Meminjam istilah penyair Wan Anwar, jika sebuah identitas terlalu mengeras maka ia bisa menjelma batu, menggelinding, dan dapat mengancam identitas yang lain. Sederhananya, pelangi indah karena beragam warna.
Hidup di era sekarang ini bisa membawa manusia pada persaingan mendapatkan pekerjaan. Ada yang dapat pekerjaan dan ada yang tidak. Ada yang menikmati harta, ada yang harus berhutang di sana-sini. Kapitalisme hadir memanfaatkan fenomena tersebut. Sebuah foto berjudul “Butuh Uang” karya Ijul mencoba memotret kenyataan pahit zaman modern ini. Seseorang berdiri, tangan kanan bertumpu di pinggang dan tangan kiri bertumpu di tiang listrik yang ditempeli sebuah iklan besar dari kertas besar bertuliskan (kalau tidak salah) “Butuh Dana Sekarang? Hubungi 0808xxxxx (x dari saya, penulis). Bukankah zaman begitu materialistis dan kapitalistis? Bagi orang yang memiliki harta cukup, ia bisa menggandaikan BPPK kendaraan bermotor lalu mengutang di lembaga tersebut. Sebaliknya, bagi rakyat kecil, iklan itu semakin menciutkan nyalinya dan menggodam kehidupannya. Yang menarik adalah sosok yang bertumpu di tiang listrik itu, terkesan bukan rakyat kecil yang butuh uang. Ia berpakaian rapi. Bercelana levis, berbaju bagus, kaca mata hitam bergelantung di kantong, berkulit putih bersih dan berwajah sinis. Mungkin ia adalah pelaku penempelan iklan itu. Alias bagian dari pemilik modal. Hehehe.
Foto ini terkesan klasik atau lumrah. Akan tetap berhasil menarik mata saya. Di bagian depan, terhampar pasir putih, di tengah terbujur laut, dan di belakang/atas terpampang kebiruan langit. Keberhasilan foto ini adalah karena ia mampu menghadirkan pasir yang benar-benar putih yang berlatarkan langit yang sepenuhnya biru. Kita merasakan kelapangan dan keluasan alam yang tak terbatas. Inilah kesan saya ketika memelototi “Pasir Putih Toronipa” karya Yudhi. Begitu pula dengan karya Yudhi yang lain “Petir di atas Rumahku” terkesan magic. Petir yang melata di atas rumah itu, bagi saya seumpama akar cahaya yang merambati alam raya. Kecepatan dan ketepatan cahaya kamera dan kecepatan kilatan petir, saya kira beradu di sini. Dan sang fotografer berhasil mengabadikannya dengan indah. Seandainya saya diberi kesempatan untuk melabeli foto ini, saya akan beri judul “Akar Cahaya”.
Kesan klasik lain adalah foto Danny K yang berjudul “Selamat Sore Lakeba”. Ia berhasil menangkap suasana tenang, lengang, natural, dan indah salah satu kawasan wisata di Kota Bau-Bau itu. Dengan demikian, fotografi memiliki peranan untuk memanggil para pelancong keindahan alam lewat mata kamera fotografer. Akan tetapi, sebagaimana penyair dengan mata penanya, fotografer dengan mata kameranya, bukanlah pelancong dengan tujuan turistik, di mana keindahan dan kesenangan, adalah tujuan akhirnya. Fotografer selalu memandang dunia atau objek dengan sudut pandang yang lain, sehingga selalu menawarkan “sesuatu” di balik keindahan. Mungkin keindahan yang terluka. Atau, luka yang tergolek di atas keindahan.
Kritik sosial sangat kuat pada pameran ini. Dan Teluk Kendari selalu menjadi objek para fotografer untuk disorot. Kejelian mata kamera dan kepekaan mata batin fotografer, sangat menentukan di dalam mengadirkan fotret buram dan legam teluk yang konon akan dikeruk agar keluar dari kutukan pendangkalan. Adalah Danny K kembali meng’klik’ teluk ke dalam medium fotografi bertajuk “Semerbak Sendiri”. Sebuah pohon bakau yang semerbak, mekar daunnya, berdiri di atas ladang lumpur Teluk Kendari. Sepertinya, pemerintah Kota Kendari dan masyarakatnya harus “meninjau ulang” ikon kebanggaannya itu. Foto ini (bersama beberapa foto lainnya) seakan ingin mengatakan bahwa teluk ini sudah tidak layak disebut sebagai Teluk Kendari, tetapi Lumpur Teluk.
Foto-foto pada pameran yang banyak mengambil Teluk Kendari sebagai objek, mengingatkan saya pada taman bakau-laut (dulu) yang kini disulap jadi Taman Bertaqwa. Bagi saya, ditimbunnya taman di atas air laut adalah sebuah langkah yang tidak arif dalam mempersepsi keindahan kota. Taman dan keindahan selalu diidentikkan dengan daratan. Akibatnya potensi dan keunikan taman air itu diberangus dan ditimbun, hanya karena ingin melahirkan taman yang dianggap lebih baik. Padahal, taman air itu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dengan sejarah Kendari Beach dulu. Ia bisa saja ditata dan dikelola dengan lebih kreatif sehingga melahirkan taman air yang unik dan bisa jadi menjadi ciri khas Kendari. Deretan hutan bakau mungil dulu, telah kehilangan pukau. Dan sepertinya, taman air itu tidakakan pernah lagi kembali.
Salah satu “keunikan” pameran ini adalah hadirnya foto “Merakyat”, sebuah foto yang dilabeli tulisan “Humas Kota Kendari”. Di situ ada tanda tangan seseorang yang menjadi objek sekaligus subjek foto, H. Musaddar Mappasomba, Wakil Wali Kota Kendari. Pak Musaddar tengah menyalami seorang pedagang ikan di sebuah pasar (mungkin Pasar Baru). Ia, sebagaimana lazimnya, menebar senyum khasnya yang tulus, berlatar tenda-tenda pedagang dan struktur bangunan yang semraut. Ada ironi foto yang (mungkin) dititip oleh humas ini. Kendari, dua tahun berturut-turut Piala Adipura, penghargaan bergengsi di bidang kebersihan lingkungan dan penataan kota. Akan tetapi, di balik foto Pak Wali Kota, masih menyimpan sesuatu hal yang justru bertentangan dengan penerimaan Adipura, yaitu kesemrautan itu sendiri. Apalagi, sekarang ini, pasca kebakaran Pasar Baru 2010 silam, tumpukan sampah di ujung jalan keluar Pasar Baru, semakin membukit dan terkesan dibiarkan. Apakah ini ada hubungannya dengan rencana relokasi pedagang ke pasar yang lebih baru, dan sampah itu nanti diangkut setelahnya? Foto ini juga memberikan kesan bahwa Pak Musaddar adalah sosok yang rendah hati dan murah senyum.
Di antara deretan foto-foto itu, saya mencari-cari foto seorang kawan fotografer saya, Arif Relano Oba yang kini “melamar” ilmu fotografi di negerinya Miroslave Klose, Jerman. Tapi rupanya, tidak ada di sana. Salah satu fotonya “Rumah Air” tak bisa hilang dari mata. Ia bisa memparipurnakan kesejatian laut, kelengangan yang purba, dan rumah yang seakan tumbuh di air. Fotonya yang lain “Masyrik at Saponda” juga sangat kuat kesan visualnya. Matahari pagi hari seakan menyembul dari dalam sebuah gubuk reot di pinggir laut Saponda. Ada dua orang dalam bentuk bayang-bayang yang siap meladeni pagi hari. Rumah dan tiang-tiangnya yang berwarna hitam di balik sorotan mata sang fajar, mendapat kesan indah di bawah kebiruan langit pagi hari. Laut seakan mati, tidak bernafas. Cikal bakal pagi hari yang tertangkap kamera. Sebuah foto yang menjadi sebuah dunia.
Foto, sebagai karya seni, selalu mengandung hal dan makna yang terduga. Jika dilihat dengan matakasat ia bisa menawarkan keindahan. Jika ditelisik lebih dalam, ia bisa mengandung kritik tajam.
Masih banyak karya foto yang luput dari tangkapan mata hati saya dan mata pena saya. Sayang sekali, saya hanya sekali ke sana untuk menikmati karya teman-teman fografer Kendari. Masih banyak karya yang bagus tapi belum saya sentuh, terutama yang berobjek Tugu Persatuan dengan beragam warna dan sudut pandang pemotretan.
Para seniman fotografi Kendari telah memberikan “sesuatu” bagi kotanya. Tentunya, sebagai seniman, sesuatu yang diberikan itu tidak bisa diandaikan dengan pemberian kue dari ibu kepada anaknya. Fotografer memberikan sesuatu dalam kacamata seni. Hasilnya, pemberian itu bisa berupa kritikan tajam bagi pemerintah dan masyarakat. Pemberian itu dibalut dalam bungkusan kesenian sehingga menjadi indah. Apa boleh buat, sebagai pemerintah dan masyarakat yang cerdas dan bersedia berubah, harus rela menerima pemberian itu dengan dada lapang.
Di balik kegembiraan Penghargaan Adipura terdapat pekerjaan rumah yang besar: sampah masih berserakan dan Teluk Kendari semakin dangkal saja.
Yah, kebudayaan hanya bisa lahir dari masyakarat yang cerdas, kreatif, dan arif. Masyakarat yang terkebelakang pendidikannya (dalam arti yang luas) hanya bisa melahirkan kebudayaan yang dekaden. Kecerdasanlah yang membangkitkan Peradaban Islam dan Renaissance di Eropa. Sebaliknya, untuk bertahan dan menyiasati hidup, masyakarat harus kreatif. Di ujung ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan ekonomi, tergolek kearifan. Sebab jika kearifan absen, hanya akan melahirkan manusia dan peradaban yang sombong, rapuh, dan brutal.
Apa yang dilakukan seniman fotografi Kendari adalah bagian dari upaya untuk tidak sekadar to live atau sekadar hidup, bernafas, bergerak, dan bekerja, sebagaimana manusia pada umumnya. Tetapi upaya agar to exist yakni membikin hidup lebih hidup, berkarya, memaknai dan melihat kehidupan dengan kritis. Eksis!
Selamat dan sukses buat fotografer Kendari. Bisa jadi, dari matakamera Andalah, keberbudayaan di Kota Kendari sementara diolah, bersama pekerja kebudayaan yang lain…
Kendari, 7 Maret 2011
Wakil Wali Kota Kendari dalam sambutan pembukaannya Para fotografer Kendari
- Alif Raha, Jajang R Kawentar, Pion Ratulolly dan 11 lainnya menyukai ini.
-
- Riri Ilham membaca catatan ini, jdi merindukan workshop dan explorasi sastra. 08 Maret jam 7:45 ·
- Syaifuddin Gani sekaligus workshop fotografi. apa kabar kolaka 08 Maret jam 7:46 ·
- Riri Ilham heheheh.amin...semoga itu bsa terlaksana.kolaka kehilangan jati diri dalam sastranya menurutku. 08 Maret jam 7:51 ·
- Handsen Ham bohama.... tengs tengs bagus ini tulisann.. *lanjut baca* 08 Maret jam 9:53 ·
- Zabur Karuru mantaf tulisan... ternyata selembar foto jika diuraikan ternyata menjadi sebuah cerita yang dasyat... mungkin suatu saat tulisan sastra dan foto akan disandingkan dalam sebuah pameran bersama yang bertajuk "fotoku.... Tulisanku" Ato "foto sastra".. ato .... apapun itu yang jelas sastra dan foto disandingkan... .... Salam Jepret... 08 Maret jam 11:03 ·
- Mirwal Item Salut ma om Puding. .kren om. .thanks. . 08 Maret jam 16:13 ·
- Muhammad Syariat Tajuddin yang diamati adalah cinta dan karya, dan yang mengamati juga cinta dan karya, jadilah "kendari dalam sorotan tajam mata kamera" ai laik dis... salam kreatif selalu...! 08 Maret jam 18:34 ·
- Arif Relano Oba ..tulisan yang menarik om'pudink....saya kira, fotografi sama dengan sastra, juga butuh interaksi dengan karya-karya kesenian yang lain...dengan itu kita bisa saling "meminjam mata" dalam mengasah kepekaan...saya selalu merindukan interaksi intens (dengan diskusi2 yang memperkaya hati dan wawasan) diantara pekerja seni di kota kendari, apapun bentuk kesenian mereka....ahh, rindu aku akan kendari :)) 09 Maret jam 1:47 · 1 orang ·
-
-
-
-
-
-
- Muhammad Syariat Tajuddin oke siplah mereka kini lagi mesra-mesranya dengan puisi dan cerpen... ! salam hangat dan semangat karya pula dari mereka buat teman2 kendari...! 09 Maret jam 8:37 ·
- Dwi Klik Santosa woouuuwww .... karya-karya foto yang indah. dikaji dari sudut kekaguman yang penuh nuansa. makin kaya cakrawala itu. kian kaya ... salam, mas. 09 Maret jam 11:49 ·
- Ilham Q Moehiddin Gani...aku suka dengan ulasan ini. Deskripsi pada beberapa objek foto bernas kau ungkap. Aku suka dengan foto terakhir karya Arif RO itu "Masyrik at Saponda". Tehnik bagus sekali sebaik ulasan ini. Tehnik bukaan rana yang lebar dan speed sedang membuat objek dua manusia membayang dengan cantik di bawah rumah. Foto ini sepertinya sudah tersentuh imaging software, croma-nya terlihat jelas pada lumen langit. Karya yang bagus sekali. Makasih brader Gani :) salam buat kawan2 semua. 09 Maret jam 16:24 · 1 orang ·
-
-
-
- Yusran Darmawan sayang sekali krn saya tak punya kedekatan dgn kendari. makanya agak sukar bagi saya memahaminya. terimakasih krn udah ngajak ke sini 10 Maret jam 5:25 ·
-
- Yusran Darmawan saya udah di jakarta lagi 10 Maret jam 5:30 ·
-
- Dwi Husba luar biasa....salut!!suatu gambar bisa menginspirasi terciptanya tulisan yang sangat bagus...hmm, saya betul2 terinspirasi untuk berbuat dan berkarya lebih lagi.... mohon bimbingannya yah pak :-) 10 Maret jam 8:22 ·
-
-
- Dwi Husba ehehehe....bisa jadi nda kedengaran pak....pake bahasa kalbu saja via elektronik... :-D 10 Maret jam 8:45 ·
-
-
-
- Dwi Husba ehehehe...ada2 saja pak... tapi lebih luar biasa bisa sampe ke malaysia.... 10 Maret jam 9:59 ·
- Ilham Q Moehiddin Usul yang sangat menarik tuh Gani ^_^ Belum pernah dibuat, aku kira. Garap. Terms-nya kita bahas via online bila tak bersua di darat ya ^_^ Sebab suatu ketika seorang punggawa RPK bersama Adhy bertemu saya di warkop dg.situru, kita cerita banyak soal imaging. Lalu pada anak itu aku beritahu apa yg sebenarnya dicari seorang penyuka foto; keindahan. Hal yang sama yang juga dikejar oleh penyair. bedanya cuman medium saja; penyair menggunakan medium kata, sedang pehobi foto melakukannya dengan teknik memindahkan keindahan di luar ruang persepsinya pada ruang persepsi yang lebih subjectif. Menjadi menarik, apabila keindahan yang kita harapkan belum tercapai, maka montase mengambil peran. Bukankah sama dengan penyair, laku seperti itu. :) Salam sukses brader ^_^ 10 Maret jam 12:43 ·
- Iphunk Andaresta ka' pudding>salam juga..kita sering ke TSkah....??????? 10 Maret jam 16:33 ·
-
-
- Iphunk Andaresta o...di mana biasa kita ketemu......??????? 10 Maret jam 16:40 ·
- Yudi Kurniawan ayo kita ramaikan kolaka dengan seni fotografi di padu dengan sastra... Thank's bang gani.. 10 Maret jam 16:42 ·
-
- Yudi Kurniawan bang gani, kebetuulan kita punya teman fotografer jg di sn sekaligus anggota RPK jg. 10 Maret jam 16:51 ·
-
- Adin Mbuh manstaaaaaaaaap hihihii 11 Maret jam 9:11 ·
-
- Adin Mbuh hhahhahaha bukan tulisanmu tapi aktivitasnya!kalo tulisan a dibaca dirumah hehehe 11 Maret jam 9:15 ·
-
- Don Mark wah...om rindu kmpul sm tmn2 lagi...heheheh 11 Maret jam 17:21 ·
-
- Adhy RicalLagi lanjut :) 15 Maret jam 1:55 ·