Mohon tunggu...
Syaif Al Haq
Syaif Al Haq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa dengan minat riset dan kepenulisan dalam bidang hukum, sosial dan keagamaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Serial Ice Cold, Trial By The Press dan Keadilan Substantif

30 Oktober 2023   16:38 Diperbarui: 30 Oktober 2023   16:40 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Serial Ice Cold, Trial By The Press dan Keadilan Substantif

Rilisnya film dokumenter Netflix, "Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso" baru-baru ini memicu gelombang perhatian yang luar biasa terhadap kasus yang sudah berakhir hampir sewindu yang lalu. Kasus Jessica Wongso, yang terkenal dengan tragedi ‘dugaan’ pembunuhan Mirna Salihin pada sebuah kafe di Jakarta, telah menjadi salah satu kasus yang paling kontroversial dan banyak diperbincangkan dalam sejarah hukum Indonesia. Memang, meskipun serial ini tidak dapat menggambarkan seluruh proses persidangan dengan lengkap dan beberapa pihak menganggapnya kurang berimbang, namun film ini berhasil dengan gamblang dan eksklusif menghadirkan berbagai dimensi kasus ini.

Pendekatan multidimensi yang diambil oleh "Ice Cold" memungkinkan penonton untuk memahami kasus ini dari berbagai perspektif. Ini tidak hanya menyediakan pemahaman yang lebih mendalam tentang kronologi peristiwa, tetapi juga membantu meresapi kompleksitas kasus tersebut. Sehingga, serial ini mampu memberikan penjelasan yang mendalam dengan menggambarkan berbagai sudut pandang dan bahkan analisis dari ahli forensik, wawancara dengan saksi-saksi kunci, dan rekaman audio dan visual yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Dengan demikian ”Ice Cold" bukan hanya sebuah dokumenter, tetapi juga sebuah medium yang mampu mencerahkan opini publik dan merubah pandangan mereka terhadap peristiwa 'dugaan' pembunuhan Jessica Wongso terhadap sahabatnya, Mirna Salihin, di kafe Olivier pada waktu itu.

Dengan total 3 juta jam penayangan dan masuk ke dalam daftar film populer global Netflix per 1 Oktober 2023 hanya dalam beberapa hari penayangannya, dokumenter ini memunculkan tanda tanya baru tentang sejauh mana peran media dan platform streaming dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap kasus hukum. Dampak keberhasilan diatas memicu minat global dan perdebatan publik seputar kasus ini, sekaligus menjadi peringatan bagi kita semua tentang bagaimana media dan pers mampu memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk persepsi dan pemahaman publik terhadap kasus hukum yang kontroversial. Ini juga mengingatkan kita bahwa bahkan setelah suatu kasus hukum selesai di pengadilan, diskusi dan pertanyaan mengenai keadilan dan hukuman dapat tetap hidup dalam masyarakat, dan media memiliki peran besar dalam hal itu.

Peran Pers Sebagai Amicus Curiae

Sebelumnya, bila ditelisik lebih dalam lagi, Indonesia sebagai sebuah Negara yang memilih Demokrasi sebagai sistem pemerintahannya memiliki dua aspek yang harus dipenuhi, yang dikenal sebagai aspek formil dan materiil. Aspek formil disini berarti bahwa pemerintahan dalam sistem demokrasi adalah pemerintahan rakyat, rakyat dikenal sebagai subjek demokrasi dan pemegang kekuasaan tertinggi Negara, konsep ini kemudian dikenal dengan pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Semetara itu, aspek materiil disini meliputi adanya pembagian/pemisahan kekuasaan (distribution/separation of power) yang dikenal dengan trias politica, yang juga mencakup peradilan yang independen, otonom dan merdeka. Selain itu, dalam konteks materiil, negara demokratis juga mensyaratkan keberadaan media yang merdeka dan bebas sebagai pilar keempat dalam demokrasi (fourth pillar of democracy).

Pada posisi inilah, sebagai bagian integral dalam proses pemerintahan demokratis, maka seharusnya dunia peradilan yang merdeka dan dunia pers yang bebas harus bekerja secara sinergis. Sinergi peran pers terhadap dunia peradilan ini kemudian disebut dengan Amicus Curiae, yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai Sahabat Pengadilan. Dalam teorinya, peran ini memiliki dua dampak bagi berjalannya proses peradilan, dipengaruhinya keputusan hakim dan terpenuhinya nilai keadilan bagi masyarakat para pencari keadilan.

Pertama, dampak positif, yaitu bahwasanya pers dan media berperan sebagai pemotret opini publik sehingga menjadi salah satu referensi bagi hakim dalam memahami the living law masyarakat dan nilai keadilan yang dikehendaki oleh publik. Selain itu, pers juga dapat berperan sebagai alat social control dalam sistem peradilan, memastikan bahwa sebuah peradilan dapat menghadirkan sebenar-benarnya keadilan (the perfect justice), efisiensi dan legitimasi hukum, melalui pemberitaan dan opini yang berimbang. Kedua, dampak negatif, yaitu bahwasanya terkadang pers dan media tidak hanya memberikan referensi kepada hakim, namun juga menggiring dan mencoba mempengaruhi opini publik yang dapat menekan dan mempengaruhi keputusan hakim sehingga hasil putusan tidak menimbulkan rasa fair dan independency. Fenomena ini kemudian disebut dengan Trial by the Press, dimana media massa memainkan peran yang sangat besar dalam membentuk opini publik tentang suatu kasus hukum dan secara tidak langsung mempengaruhi proses peradilan.

Dalam konteks kasus Mirna Salihin, semenjak kasus ini mencuat ke publik, jagat dunia maya sudah memberikan judgement bahwa kasus ini merupakan pembunuhan berencana dengan menggunakan sianida dan Jessica Wongso adalah pembunuhnya. Hal ini memberikan pressure kepada aparatur penegak hukum negara, dalam hal ini jaksa dan hakim untuk dapat ‘mengabulkan’ gugatan yang publik ajukan. Hal ini menjadi preseden dalam dunia peradilan, dimana prinsip kesetaraan antara penggugat dan tergugat yang seharusnya berlaku dalam persidangan berubah menjadi tidak seimbang. Situasi ini dapat diilustrasikan sebagai sebuah pertandingan yang seharusnya dimulai dengan skor 0-0 (kosong-kosong) antara kedua belah pihak, namun berubah menjadi 2-0 (dua-kosong) bahkan sebelum dimulainya persidangan. Hal ini yang kemudian menjadi bukti nyata bahwa masyarakat Indonesia dengan diwakili dunia persnya telah menjalankan konsep Trial by the Press dalam kasus ini. Serial "Ice Cold" semakin memperkuat pandangan bahwa keputusan hakim dalam perkara ini patut dipertanyakan dan belum mencapai standar keadilan substantif yang diharapkan.

Keputusan Hakim: Upaya Mewujudkan Keadilan Susbstantif (Seharusnya)

Secara prinsip praktek penegakan hukum memiliki dua tujuan utama: menghadirkan keadilan bagi masyarakat (bringing justice to the people) dan menemukan kebenaran (searching for the truth). Dalam konteks hukum Indonesia, prinsip ini didasarkan kepada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU 2009 tentang kekuasaan kehakiman bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Bahkan, Gustav Radbruch, seorang ahli hukum terkenal, berpendapat bahwa seharusnya seoarang hakim dapat mengabaikan hukum tertulis apabila hukum tersebut dalam prakteknya tidak mencerminkan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Selain itu, hakim juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan ketidakberpihakan (impartiality) dan keadilan (fairness) dalam memutuskan suatu perkara, yang melibatkan seluruh pihak yang berperkara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun