"Bagaimana kalian bisa mengumpulkan bahan sebanyak ini?" tanya Bu Guru.
Mira menunjuk Dafa. "Semua berkat Dafa. Ia berkeliling desa dengan sepeda merahnya. Kalau tidak ada dia, mungkin kami tidak bisa membuat maket sebagus ini."
Semua mata tertuju pada Dafa. Wajahnya merah padam, tapi ia tersenyum malu. Roni yang dulu mengejek hanya bisa menunduk.
Bu Guru berkata, "Lihat, anak-anak. Ini bukti bahwa semangat lebih berharga daripada barang baru. Sepeda tua pun bisa membawa kebaikan jika pemiliknya mau berusaha."
Di akhir lomba, kelompok Dafa keluar sebagai juara pertama. Semua bertepuk tangan. Dafa merasa seperti mimpi. Ia pulang sambil membawa piala kecil di keranjang sepedanya.
Nisa menyambut dengan riang. "Kak, Kak! Kakak hebat! Sepeda merah kita juga hebat!"
Ibu tersenyum bangga, "Ibu selalu tahu kamu anak hebat, Dafa. Teruslah seperti ini."
Malam itu, sebelum tidur, Dafa menatap sepedanya yang bersandar di dinding. Ia berbisik, "Terima kasih, teman. Kita sudah membuktikan bahwa hebat tidak harus sempurna."
Sejak saat itu, anak-anak di desa tidak lagi menertawakan sepeda merah Dafa. Justru banyak yang ingin ikut dengannya saat mengumpulkan barang bekas. Mereka belajar bahwa menjadi anak hebat bukan soal punya barang bagus, tapi soal hati yang mau berusaha, membantu, dan tidak menyerah.
Dafa pun tetap seperti biasa: sederhana, ceria, dan selalu siap menolong. Ia tahu, sepeda merahnya mungkin tak akan selamanya menemaninya. Tapi semangat yang dibawanya, itulah yang akan selalu hidup di dalam dirinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI