Di sebuah desa kecil bernama Suka Ria, tinggal seorang anak laki-laki bernama Dafa. Ia duduk di kelas 5 SD. Rambutnya lurus, kulitnya agak sawo matang, dan matanya selalu berbinar seperti bintang malam. Dafa dikenal sebagai anak yang suka membantu, meski badannya kecil dan tidak terlalu kuat.
Ia tinggal bersama ibu dan adiknya, Nisa. Ayahnya bekerja di kota jauh, dan hanya pulang sesekali. Meski begitu, Dafa tidak pernah mengeluh. Ia justru sering berkata pada Nisa, "Kita harus kuat, supaya Ibu tidak capek sendiri.
Dafa punya sepeda tua berwarna merah. Catnya sudah pudar, rantainya sering berderit, dan sadelnya miring. Tapi bagi Dafa, sepeda itu adalah harta paling berharga. Dengan sepeda itu ia pergi ke sekolah, mengantar Nisa mengaji, bahkan membantu Ibu membawa sayur dari pasar.
Anak-anak lain kadang menertawakannya. "Hei, Dafa! Sepedamu seperti ayam tua!" ejek Roni, teman sekelasnya.
Dafa hanya tersenyum. "Ayam tua pun bisa berkokok, Ron," jawabnya pelan.
Di dalam hati, tentu ia sedikit sedih. Tapi ia tahu, sepeda merah itu sudah menemaninya sejak kelas 2 SD. Ayah membelikannya dari hasil lembur seminggu penuh. Bagi Dafa, sepeda itu bukan sekadar kendaraan, melainkan kenangan.
***
Suatu hari, Bu Guru memberi pengumuman. "Anak-anak, minggu depan kita akan mengadakan Lomba Kelompok. Kalian harus membuat karya tentang lingkungan. Karya boleh berupa poster, maket, atau tulisan. Ingat, semuanya harus hasil kerja sama!"
Kelas pun ramai. Semua bersemangat, kecuali Roni yang justru menyindir, "Wah, kalau Dafa ikut, pasti kelompoknya kalah. Dia kan cuma bisa naik sepeda karatan!"
Beberapa anak tertawa. Wajah Dafa memerah, tapi ia menunduk. Bu Guru menatap Roni tajam. "Jangan mengejek. Ingat, hebat itu bukan dari barang, tapi dari hati."
Dafa mengangkat tangan, "Bu, kalau boleh saya ikut kelompok yang membuat maket. Saya bisa membantu mencari bahan dari rumah."