Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Melepas Kupu-kupu dari Dalam Perut

28 Maret 2022   07:54 Diperbarui: 28 Maret 2022   08:13 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak bisa memaksanya untuk tetap tinggal dan aku juga tidak ingin ia pergi. Tapi hati sudah dijatuhkan dan langkah sudah beranjak. Kisah yang rumit ini tidak akan membawa kami ke mana-mana. Untuk beberapa lama ia akan hidup di dalam lamunanku, pejam mataku, karena memang sudah begini jalannya. Aku tidak ingin menulis puisi lagi karena aku hanya akan menjadi penyair yang buruk, karena ia adalah ibu bagi puisi-puisiku. Ia akan mengenali anak-anaknya dan itu akan menyakitinya dan menyakitiku. Ia akan melupakanku dan aku tidak berpikir bisa melupakannya secepat itu. Aku tidak mengira kami akan sebahagia itu. Ia tidak menduga akan jatuh hati kepadaku. Aku sempat tak yakin kalau bahagia itu nyata, tapi ia ada di depan mataku. Aku tak berkhayal kan? Tidak, katanya, aku nyata. Aku semakin menyayanginya dari hari ke hari. Kabar yang kutunggu-tunggu, suara yang kurindukan dan nyaris kudengar di setiap malam, hingga kami tertidur, kini akan jadi sunyi. Aku akan merindukan suaranya saat ia mulai terlelap, saat ia mengigau dan menyebut namaku, saat ia katakan: Mas, jangan menghilang atau Mas, jangan marah-marah, jangan tinggalkan aku. Atau ingatan lain seperti saat ia menulis: kalau kita punya anak, ia akan memiliki mata yang sama denganmu. Ini terasa tidak nyata, tapi beginilah keadaannya. Kami akan dihapus dan kemungkinan terburuknya, nama kami tidak akan ditulis ulang. Akan ada banyak hal yang terjadi di hidupku, aku tahu, tapi mengenalnya adalah keberuntungan yang tidak mungkin terulang. Saat kami memotret diri di cermin, pantulan yang tergambar, kukatakan pada diriku: kita nampak serasi. Aku tahu hari-hari baik tidak selalu datang, jadi kusampaikan kepadanya: aku mencintaimu hari ini, karena kita tidak akan selalu begini. Saat ia katakan di telepon, rasanya seperti ada kupu-kupu di dalam perut. Kutanya, apakah kamu bahagia? Dan ia jawab: iya. Aku beruntung mengenalmu, katanya, kamu baik, penyabar, dan pengertian. Tapi itu tidak banyak berarti sekarang. Aku tidak menyadari jika kupu-kupu adalah sebuah pertanda; tidak sesuatu pun lepas dari kehilangan. Ia melepaskan kupu-kupu dari perutnya dan aku akan kesulitan untuk melepasnya dari kebiasaanku. Aku akan pergi ke banyak tempat dan aku akan mengingatnya; mendengar lagu-lagu yang ia rekomendasikan di sebuah kafe hanya akan menjadi kesepian yang lain, papan nama jalan akan terbaca sebagai namanya, plang nama makanan cepat saji, pesan yang masuk di telepon genggam, panggilan tak terjawab, saat aku memasuki pasar dan berpikir untuk membeli rempah-rempah dapur karena ia suka sekali memasak, saat nasi tersaji di hadapanku karena aku ingat ia tak akan memakannya, sup kental yang kubeli di KFC ternyata tidak enak dan aku tidak bisa menghabiskannya, aku akan membeli seblak maka ia akan lebih nampak dalam ingatanku. Ini hukuman karena kita jatuh hati terlalu cepat, katanya. Ya, kujawab, tapi tidak kukira akan secepat ini kita berpisah. Ibuku senang saat kubercerita tentangnya, sekarang aku tidak mungkin mengatakan bahwa ia ingin aku menghapusnya dari hidupku. Aku tidak ingin kita begini, kataku. Ia menjawab, kita tak punya cara lain, sesuatu yang salah sedang menimpa kita, maafkan cara beragamaku. Kukatakan bahwa tidak ada yang salah dari kita, dari cara beragamamu, aku hanya belum siap kehilanganmu, aku belum siap tidak mengatakan aku mencintaimu setiap hari, kecupan itu, di setiap kali kau memintanya, rasa cintaku semakin bertambah. Karena terlalu banyak luka di punggungnya, jadi ia tidak ingin dicambuk oleh kegagalan yang lain, atau berharap kepada sesuatu yang lain. Aku paham, jadi aku mengiyakan, tapi keliru jika kupikir ini bukan selamat tinggal. Ini bukan salahmu, katanya, ini salahku. Kukatakan, tidak ada yang salah dari jatuh hati, tapi ini harga yang harus kubayar untuk jatuh cinta yang terlalu cepat. Jika hal-hal buruk terjadi, aku akan mencintaimu seperti biasanya. Aku tidak akan menulis puisi lagi karena ia menyukai puisi, karena ia akan tahu bahwa aku menulis ini untuknya dan ia tahu bahwa aku sedang bersedih. Sehari sebelum berpisah ia menelponku dan menangis, aku juga, karena kutahu itu pertanda buruk. Ia bilang, jangan bersedih, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku tidak ingin menjadikannya kenangan karena ia terlalu indah untuk dijadikan kenangan, bahkan untuk kenangan baik sekali pun. Aku mencintainya dan ia tahu tidak akan banyak hal yang berubah. Malam hari sebelum ia menanggalkan kami, ia mendoakan hal-hal baik, tapi itu tidak cukup untuk membuatku merasa baik meski telepon masih menyala dan masih kudengar suaranya memanggil. Kami berpisah baik-baik. Ia tidak akan membenciku karena aku lelaki terbaik yang pernah ia temukan. Ia mengatakan hal-hal lain, seperti aku yang kelak akan menemukan perempuan lain yang lebih baik darinya, dan demi Tuhan itu semakin menyiksa perasaanku. Cinta ini terasa cukup tua untuk durasinya yang singkat. Walau bagaimana pun ia memilih untuk melepas kupu-kupu dari dalam perutnya dan aku memutuskan untuk tidak lagi menulis puisi. Sampai jumpa di sisi yang lain, aku akan merindukanmu, kuucapkan kalimat terakhirku. Aku juga akan merindukanmu, ia membalas. Menjelang pukul dua belas malam, kami menutup panggilan dengan suara parau. Besok, hari yang baru, menungguku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun