Sebulan berlalu
Kesadaran itu semakin tumbuh di kepala kami
Sejak awal tahun yang sakit ini
Kami mendengar banyak
Jeritan orang-orang di desa,
Suara motor-motor dan mobil-mobil  bersahutan
Terjepit di tengah jalanan jantung kota,
Tubuh-tubuh yang mencoba lari
Ke tempat lebih tinggi
Karena air meluap dan mencintai
Tanah kami lebih banyak
Duh, hari hujan lagi
Kami masih cemas karena mungkin lubang-lubang
Tambang itu bukan hanya berisi emas hitam,
Tetapi juga airmata yang siap kembali tumpah
Ke rumah-rumah
Kami cemas membayangkan
Yang tumbang untuk lahan itu bukan hanya pohon,
Tetapi juga tempat tinggal
Mari, Bapak-bapak terhormat,
Kita duduk di teras yang basah ini
Sebentar–jauh dari kompleks dan hunian kalian yang mewah menjulang–
Menghirup aroma ketakutan
Yang lebih dekat dengan kematian
Berita politik yang selalu sakit;
Kritik disamarkan sebagai pencemaran nama baik,
Kata-kata yang dibekukan,
Dan mulut-mulut dijerat undang-undang
Melukai bumi adalah cara lain
Untuk tidak pernah sembuh dari tragedi,
Semacam bunuh diri
(atau membunuh kami yang di bawah?)
Dan kami tidak ingin mati
Atau menyaksikan tangis-tangis
Pecah meratapi lebih banyak kehilangan
Kami tidak meminta kehidupan,
Tetapi setidaknya biarkan kami hidup
Dan menjadi kata-kata yang cerewet
Atau sampah-sampah
Serupa sumpah-sumpah
Yang kalian ucapkan
Atau janji-janji yang mudah diluapkan
Namun rentan dilupakan
Apakah kalian sudah melihatnya?
Hari itu, mereka menghiasi jalan-jalan kota,
Juga catatan kecil para penulis amatir,
Atau teks berjalan di televisi
Tepat di bawah perut seorang pewarta,
Menjelma sebagai berita utama:
Banjir Terparah Dalam Sejarah Kalimantan Selatan, Ratusan Rumah Rata dengan Tanah.