Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tentang Pengarang dan Tulisannya yang Tidak Selesai

23 Agustus 2019   20:16 Diperbarui: 24 Agustus 2019   21:21 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menulis (fiverr.com)

Malam ini pengarang kita sedang duduk di depan komputernya. Tentunya dengan wajah tololnya. Bermaksud untuk menulis esai dari kegiatan talkshow  yang semalam dia ikuti. 

Cukup lama dia duduk sambil memakan kacang. Namun komputernya belum juga mau menyala. Dia sempat menyalak seperti anjing yang galak. Kemudian tertawa geli sesaat dia sadar bahwa dia belum menekan tombol "on" dari komputer tersebut. Sesudahnya, dia tekan tombol itu sambil berharap  cemas agar komputernya tidak berhenti di logo windows.

Sekitar lima menit, komputer pengarang kita akhirnya sudah benar-benar menyala. Dia bisa bernafas lega. Namun ketika dia menggerak-gerakkan mouse-nya, komputernya mengalami hang parah. Gambar jam pasir di layar monitornya terus berputar tiada henti. Pengarang kita marah. Dia kembali menyalak seperti anjing yang galak.

"Komputer *suuuuu," katanya sambil menekan lama tombol "on", yang artinya dia sedang mematikan komputernya dengan paksa.

Pengarang kita emosi. Komputer tuanya ini masih suka berulah. Namun jauh di dalam hatinya, pengarang kita sangat menyayangi komputernya seperti halnya dia menyayangi setiap kenangan di dalam hidupnya. 

Yang sudah memberinya banyak inspirasi untuk menulis cerita tentang patah hati, atau puisi-puisi sedih yang sering dia posting di internet. Lebih tepatnya di kompasiana, hingga kadang-kadang para pembaca merasa amat kasihan dengan pengarang kita ini. Bahkan mungkin tidak sedikit yang beranggapan bahwa pengarang kita ini adalah makhluk paling menyedihkan di muka bumi.

Tapi pengarang kita selalu beralasan bahwa hal-hal yang dia tulis sebenarnya hanyalah fiksi semata.

Pengarang kita kembali dengan komputernya. Dia nyalakan lagi benda rongsokan itu. Terdengar bunyi "bip" yang yang menandai bahwa komputernya sudah menyala.  Dia kembali mencoba menggerak-gerakkan mouse-nya namun komputernya masih terasa berat. Dia klik kanan beberapa kali, namun pop-up "refresh" yang dia inginkan belum muncul.

Pengarang kita jengkel. Tapi tidak lama. Setelah beberapa kali menekan bagian kanan pada mouse-nya, pop-up "refresh" itu akhirnya muncul juga. Pengarang kita kerap kali melakukan hal ini meski sebenarnya dia sudah tahu bahwa hal tersebut tidak akan mengubah apa pun. Menekan "refresh" tidak akan membuat performa komputer tuanya ini membaik. 

Tapi dia senang sekali melakukannya. Seolah-olah menekan "refresh" sudah menjadi candu saat dia menyalakan komputer.

Komputer pengarang kita perlahan menyala normal. Dengan membaca bismillah dia mengarahkan kursor mouse-nya ke arah aplikasi Microsoft Office Word 2007. 

Setelah dia mengklik aplikasi tersebut, pengarang kita kembali harus diuji kesabarannya karena komputernya memakan waktu beberapa menit untuk berhasil memuat aplikasi tersebut.

Tiga menit berlalu, pengarang kita mulai kehabisan kesabaran hingga dia kembali  menyalak seperti anjing yang galak.

Sesaat setelah dia hampir putus asa dalam menunggu, aplikasi itu akhirnya terbuka. Pengarang kita sumringah. Wajah tololnya kembali dia arahkan penuh ke depan monitor komputer yang memancarkan radiasi untuk membuat rabun matanya. 

Tapi pengarang kita tidak ambil pusing. Karena menurut pengarang kita, meski pun matanya dapat melihat dengan sempurna untuk beberapa tahun ke depan, hal itu akan percuma. Sebab hatinya tetap akan tertinggal di masa lalu.

Pengarang kita mulai menyusun kata-kata di dalam kepalanya. Kalimat pembuka yang manis akan membuat tulisannya juga manis, begitu pikirnya. Pengarang kita mulai mengetik, menyentuh huruf K pada papan ketiknya. Kemudian lahirlah kalimat yang kira-kira berbunyi :

"Kemarin adalah hari yang sangat membanggakan untuk saya. Di tengah-tengah keramaian kota Banjarmasin, saya menyembulkan diri sebagai seorang kompasianer yang....."

Tulisan pengarang kita terhenti.  Dia kehabisan akal untuk meneruskan kalimat tersebut. Maka tombol "delete" lah yang menjadi pilihan. Dia hapus semua kata-kata yang sudah dia tulis hingga yang tersisa hanya sebidang putih kosong yang kembali siap untuk diisi.

Pengarang kita memutar otakya lagi untuk menciptakan paragraf pembuka esai yang ciamik. Namun dia mengalami kebuntuan. Terlebih lagi dia sedang menahan diri untuk tidak kencing. Karena sebelumnya pengarang kita sudah bertekad untuk tidak mengerjakan hal lain sebelum tulisannya selesai.

Pengarang kita belum mau menyerah. Di tengah perasaan kebeletnya, pengarang kita tetap berjuang untuk tetap menulis sampai esainya selesai.

Pengarang kita mulai kembali beraksi. Jari-jarinya menyentuh ragu papan ketik. Kali ini pengarang kita menyentuh huruf B terlebih dahulu.

"Berawal dari hobi menulis..."

Cukup lama pengarang kita terhenti. Memikirkan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan bangganya setelah kemarin dia dipertemukan oleh Kompasiana dengan kompasianer -kompasianer hebat dari daerahnya.

Pengarang kita masih belum menemukan kalimat yang cocok untuk memulai paragraf pembukanya. Hingga tombol "delete" kembali ditekan olehnya sebanyak huruf-huruf yang sudah dia ketik. Meski sebenarnya dia tahu bahwa  ada cara yang lebih cepat untuk menghapus semua kata-kata tersebut.

Sementara itu perasaan ingin pipis semakin menyiksanya. Hal ini membuat pengarang kita bertambah bingung dan dia jadi semakin sadar bahwa dia memang tidak memiliki bakat lain selain menulis cerita-cerita tentang patah hati atau puisi-puisi yang menyedihkan. 

Pengarang kita lemah dalam beropini, bahkan hanya untuk menuliskan esai reportase. Belum lagi apabila ada seseorang yang memintanya untuk menulis esai politik. Mungkin pengarang kita ini akan terkencing-kencing hingga menyalak seperti anjing yang galak.

Pengarang kita kembali mencoba untuk berkonsentrasi. Dia gali lebih dalam informasi tentang acara yang semalam dia hadiri dari dalam kepalanya sendiri. Semacam mencari kata dalam sebuah kamus yang pada tiap lembarnya dipenuhi oleh kenangan.

Akhirnya, tangan pengarang kita kembali bergerak untuk menulis.

"Aku ingin menulis cerita paling sedih
tanpa harus patah hati atau merasa kehilangan
Seorang penyair yang identik dengan luka-luka
Kata-kata di jarinya adalah bahasa dari peradaban yang jauh
Tempat ia menemukan cinta
tanpa perlu merasa jatuh cinta
Atau dipeluk
Tanpa khawatir akan dilepaskan"

Namun yang dia tulis rupanya adalah puisi.

Sampai saat ini pengarang kita masih bingung akan memulai paragrafnya dengan kalimat yang bagaimana. Sedangkan nyeri akibat menahan kencingnya semakin terasa. Pada akhirnya, pengarang kita menyerah. Dia lari terbirit-birit ke kamar mandi sambil menyalak seperti anjing yang galak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun