"Iya, halo."
Terdengar suara Mirna yang halus dari balik telepon. Menggugurkan kebulatan niat yang sempat dikumpulkan olehnya. Kemudian keberadaannya yang sedang menggenggam telepon menjadi hening tanpa suara. Dengan lekas ia menutup teleponnya. Dia merasakan sesuatu berupa keraguan sedang tersangkut di lehernya yang datar.
"Suaraku tidak bagus. Di SMS saja, ya." Dia memulai percakapan lewat sebuah pesan.
"Haha! Bisa aja kak. Iya ada apa?" Balas Mirna.
"Kita bisa ketemu nanti sore?"
"Hah? Serius kak?"
"Iya, di taman. Aku orang dengan helm hitam dan kemeja merah kotak-kotak."
"Kayak presiden dong kak. Hehe. Okedeh kak."
"Haha! Jam setengah lima, ya, Mir."
Pesan ditutup dengan sebuah emoji berbentuk kecupan dari Mirna.
Dia menghela nafas. Meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Konsekuensi terburuknya, dia akan dijauhi. Cuma itu saja. Toh, dia masih bisa bernafas dan hidup. Sebab dijauhi atau merasa kehilangan bukanlah sesuatu yang asing untuk dipertanyakan. Setiap hari, bukankah orang-orang di dunia kehilangan?
***
Pukul setengah lima, dia sudah menunggu di taman batas kota, dengan baju kemeja merah kotak-kotak dan helm yang masih terpasang di kepalanya. Seperti yang sudah dijanjikannya.
"Di mana Kak?" Pesan dari Mirna masuk. Dia merogoh saku celananya dan segera membalas.
"Di kursi kembar. Dekat ayunan besi."