Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mencintai Martin

11 Mei 2019   13:32 Diperbarui: 12 Mei 2019   19:45 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber https://www.saatchiart.com 

Martin, dia menyukai nama itu dan hanya ingin dipanggil dengan nama itu. Dia akan kesal apabila ada orang yang memanggilnya dengan nama lengkap. Terkadang dia juga menjadi seseorang yang membenci Tuhan, memaki takdir dan keadaannya sendiri, menyesali kelahiran, serta kekosongan yang memenuhi kehidupannya.

Bukan tanpa percobaan untuk berubah. Sesekali ia ingin menjadi orang lain kebanyakan yang berdiri menahan laju angin, tersenyum dan sadar bahwa masih ada sesuatu yang menyenangkan untuk ditertawakan. Tapi kemudian dia menyadari bahwa dia tidak menemukan kebahagiaan dan ketenangan saat mencoba untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya.

Proses pencarian jati diri yang dilalui olehnya memang terbilang rumit. Orangtuanya bercerai saat dia berusia delapan tahun, dia tinggal bersama ayahnya, seorang montir. Namun ketika usianya menginjak tahun ketiga belas, ayahnya jadi sering bertindak kasar dan tak segan untuk mendaratkan pukulan di wajahnya. 

Terlebih ketika dia pulang larut malam, atau saat ia kedapatan tengah menyimpan dan menghisap batangan rokok. Dia juga beberapa kali tidak diakui sebagai anak hingga membuatnya selalu berpikir bahwa keadaannya mungkin akan jauh lebih baik andai ibunya masih ada di sisinya.

Usianya sekarang hampir dua puluh tahun dan semakin sering mendengar cerita-cerita tentang cinta dari teman nongkrongnya di sebuah kedai kopi langganan mereka. Teman-temannya akan saling beradu foto pasangannya masing-masing, siapa yang lebih cantik, serta obrolan tentang rencana menghabiskan malam tahun baru yang sebentar lagi tiba. Ini bagian yang paling dibenci olehnya. Mereka akan mulai memintanya untuk menemukan pasangan. Tapi dia tahu, itu tak akan semudah membalikkan telapak tangan.

Dia tidak mengerti di bagian mana harus menempatkan diri. Karena suara keraguan itu selalu keluar atas dasar ketakutan yang mengisi seluruh isi kepalanya.

Dia ragu akan kembali gagal. Beberapa bulan lalu dia pernah mencobanya dua kali pada dua orang yang berbeda. Pertama, percobaan langsung untuk menyatakan perasaan pada seorang temannya. Kedua perkenalan di dunia maya yang membawanya pada sebuah pertemuan di pertengahan April yang menggugurkan hati dan harga dirinya. Dia ditolak oleh dua orang perempuan dengan sangat telak.

Bahkan kalimat seorang perempuan yang pernah dia coba untuk dekati itu masih terasa berdengung di gendang telinganya. Keras sekali.

Bujukan demi bujukan terus dia dapatkan. Untuk segera memulai lembaran baru, untuk fokus pada apa yang ingin dia ubah, apa yang ingin dia capai dan mengaburkan apa yang telah berlalu. Tetapi dirinya sadar, itu tak akan berjalan mudah. Apalagi jika ayahnya tahu bahwa dia sedang berusaha untuk memiliki seorang kekasih.
***
Tiga hari berlalu. Dia berkenalan dengan seorang perempuan di salah satu grup Facebook cari jodoh, dia berkenalan dengan seseorang yang memiliki profil akun bernama Mirna Purnama. Mulai dari saling bertukar ekspresi pada status masing-masing, bertukar isi komentar, hingga merambah ke kolom pesan personal.

Hari demi hari mereka semakin akrab, Mirna bahkan mengungkapkan keinginan untuk mengajaknya bertemu di taman dekat batas kota yang memisahkan dua kota kecil mereka.

"Aku belum siap." Ketiknya, dalam isi sebuah pesan singkat.

Sudah lebih dari seminggu mereka rutin bertukar kabar, atau hanya sekadar menanyakan hal-hal sepele semacam sedang apa, di mana dan sudah makan atau belum. Perhatian-perhatian kecil, pemahaman pada pribadi masing-masing, serta kehangatan yang ditunjukan oleh keduanya, rupanya menyisakan pertanyaan-pertanyaan mendasar atas perasaan yang abstrak; apakah tanpa bertemu, mereka bisa jatuh cinta?

Terlebih di dalam benak Mirna. Meski pun dia belum pernah menemui seseorang yang mengaku bernama Martin itu, ia merasa amat terkesan dengan perhatian dan kehangatan-kehangatan lewat pertukaran pesan yang sering mereka lakukan. Karena memang, Martin tidak pernah mengunggah atau pun mengirimkan foto pribadi kepadanya. Dia mengaku terlalu pemalu, bahkan hanya untuk sekadar melakukan hal itu.

Sementara di sisi lain, Martin tengah merawat kecemasan yang tumbuh dari perasaan takut kehilangan. Atau barangkali ia akan dijauhi oleh Mirna saat mereka berdua bertemu, saat Mirna tahu tentang dirinya.

"Mungkin begini saja sudah cukup," pikirnya.

Dia takut Mirna akan menjauhinya. Dia takut Mirna merasa jijik bila berada di dekatnya.

Di dalam kamarnya, dia sedang bercermin, menatap dirinya dalam-dalam. Mulai bergumam pada dirinya sendiri, bahwa hal paling buruk yang pernah dia lakukan adalah bersembunyi karena takut akan merasa patah dan dipermalukan sekali lagi. Persisnya, mungkin seperti saat ini.

Kemudian dia mengambil ponselnya, memutuskan untuk segera membuat panggilan ke nomor Mirna. Dia gugup sekali. Karena lebih dari seminggu berkenalan, dia belum pernah sekali pun menghubungi Mirna dengan suara.

Dia sedang merencanakan sesuatu, membuat sebuah keputusan untuk mengajak Mirna bertemu, bahwa dia akan menemui Mirna sebagai dirinya sendiri. 

Ketika telepon diangkat.....

"Ehmm.. Ehmmm.." Ia berdehem, memastikan bahwa suaranya cukup keras dan tegas.

"Iya, halo."

Terdengar suara Mirna yang halus dari balik telepon. Menggugurkan kebulatan niat yang sempat dikumpulkan olehnya. Kemudian keberadaannya yang sedang menggenggam telepon menjadi hening tanpa suara. Dengan lekas ia menutup teleponnya. Dia merasakan sesuatu berupa keraguan sedang tersangkut di lehernya yang datar.

"Suaraku tidak bagus. Di SMS saja, ya." Dia memulai percakapan lewat sebuah pesan.

"Haha! Bisa aja kak. Iya ada apa?" Balas Mirna.

"Kita bisa ketemu nanti sore?"

"Hah? Serius kak?"

"Iya, di taman. Aku orang dengan helm hitam dan kemeja merah kotak-kotak."

"Kayak presiden dong kak. Hehe. Okedeh kak."

"Haha! Jam setengah lima, ya, Mir."

Pesan ditutup dengan sebuah emoji berbentuk kecupan dari Mirna.

Dia menghela nafas. Meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Konsekuensi terburuknya, dia akan dijauhi. Cuma itu saja. Toh, dia masih bisa bernafas dan hidup. Sebab dijauhi atau merasa kehilangan bukanlah sesuatu yang asing untuk dipertanyakan. Setiap hari, bukankah orang-orang di dunia kehilangan?
***
Pukul setengah lima, dia sudah menunggu di taman batas kota, dengan baju kemeja merah kotak-kotak dan helm yang masih terpasang di kepalanya. Seperti yang sudah dijanjikannya.

"Di mana Kak?" Pesan dari Mirna masuk. Dia merogoh saku celananya dan segera membalas.

"Di kursi kembar. Dekat ayunan besi."

"Aku tidak lihat."

"Kamu di mana?"

"Ini lagi di dekat tugu patung penyu."

"Aku ke sana."

Dia kembali menghela nafas.

"Tak apa. Tak apa. Tak apa." Yakinnya pada dirinya sendiri.

Sepuluh menit berlalu. Mirna masih mencari-cari sosok misterius yang belakangan menemaninya memecah kesunyian. Dia sedikit kehabisan kesabaran. Dia berdiri dan memutuskan untuk kembali mengirimkan sebuah pesan.

"Kakak di mana?"

Lima menit. Namun masih belum ada jawaban. Dia kembali terduduk anggun. Rambutnya lurus sedada, dengan frame kacamata berwarna merah muda seperti hati dan baju yang hari ini dikenakannya.

Teleponnya menerima sebuah panggilan masuk atas nama Martin. Dia bergegas mengangkatnya.

"Halo kak.."

"Di belakangmu."

Suara di balik telepon itu terdengar lebih halus ketimbang suara laki-laki kebanyakan.

Mirna menoleh, dan seseorang dengan tubuh ramping, berbalut kemeja merah kotak-kotak melepas helm yang dipakainya, rambutnya agak pendek dengan gaya terangkat, juga dengan sebuah tindik yang terletak di dagunya.

"Siapa, ya?" Tanya Mirna.

"Aku Martin. Martina Puteri Sonya." Jawabnya sembari mengulurkan tangan.

Dengan perasaan ragu serta tak percaya, Mirna menyambut tangan Martin, seorang perempuan yang nyaris menyerupai laki-laki. Mirna memandanginya, terheran-heran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun