Mohon tunggu...
Arry Pohan
Arry Pohan Mohon Tunggu... -

dan harus lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jingga di Tepi Subuh

17 Oktober 2013   17:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:25 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pulanglah kekasih. Tapi ingat, jangan hanya ketika bintang bertamu. Pulanglah sekali-sekali saat embun menguap, kau tahu, saat itu aku meringkuk menahan rindu.

Subuh baru sampai. Matahari saja masih ketinggalan di ujung barat. Perempuan itu bergegas membuka pintu. Azan memanggilnya di beranda. Ia berharap, selesai salat, Ben sudah sampai.

Selesai tilawah, ia buka semua jendela. Ben belum juga tiba, ia mungkin agak telat. Diseduhnya kopi, manis agak pahit. Ia tersenyum. Seperti kisah hidupku. Masih ada waktu, Ben pasti senang. Kalau ia pulang, di atas meja makan ada segelas kopi dan sepiring nasi goreng dibungkus telur dadar. Nasi goreng demam, julukan Ben. Lalu ia pasti akan berkata, kau adalah sosok yang diidamkan semua lelaki.

Jam berbunyi tujuh kali, sudah dua jam. Akhir-akhir ini Ben selalu begitu, telat. Ia hela napas, menunggu Ben saat yang paling mendebarkan untuknya, seperti bermain judi. Satu waktu ia menang, lain waktu ia kalah banyak. Akh, tak ada gunanya menyesal, toh menunggu adalah pilihannya.

Jam sembilan lewat seperempat. Ning masih belum bangun, tadi malam ia terus merengek di kamarnya.

“Aku sempatkan pulang, pas jam makan siang,” kata Ben ditelepon setengah jam yang lalu. Kalimat sama yang hampir setiap hari singgah di telinganya. Sejak ia memutuskan. Ya, memilih Ben.

Di luar rintik mulai bertamu, mengedor pucuk daun. Satu mangkuk sup kimlo dan sepiring ayam goreng tangkap, sudah terhidang di meja makan. Itu juga kesukaan Ben.

“Ma, ayah belum pulang?” Ia tatap Ning. Di mata gadis kecilnya ada rindu yang menggeliat.

“Sebentar lagi. Oya,  Ayah bilang, Adek disuruh makan dulu.” Ning mengangguk cepat. Bahagia berloncatan di wajahnya. Ia belum mengenal kata klise.

Sudah jam dua. Ning sedang tidur siang. Ben telat lagi, ia tak pulang tiga hari. Hujan semakin deras, butirnya mulai berlompatan ke dalam rumah. Tapi ia takut menutup pintu. Takut Ben tiba-tiba datang, dan ia tak bisa langsung masuk.

Waktu itu juga hujan deras, Ben memberikannya tumpangan. Saat isyarat bersambut dan degup bertaut. Ben bukan orang asing, ia datang dari masa lalu. Tak ada yang berubah, Ben masih tetap perhatian. Secara fisik ia jadi lebih matang. Sejak itu janji semakin sering menuntut, tak terelakkan. Rindu membuat ia lupa bahwa Ben adalah seorang Ayah. Ia coba lari menjauh, bahkan ke tempat yang ia anggap tak mampu Ben temukan. Tapi seperti yang Ben katakan, “Warna Jingga tidak bisa bersembunyi di manapun, dia akan  selalu jelas terlihat.” Ben dapat menemukannya.

“Tak ada yang salah.”

“Ada,”

“Kau perempuan dan aku laki-laki.”

“Ada. Aku masih berkerudung sepi, dan kau?”

Ia mencintai Ben, sangat. Tapi Roza? Perempuan dengan lesung di pipinya. Aku tak ingin jadi Jingga, merusak warna indah hidup perempuan lain. Aku cukup jadi Jingga untuk diriku sendiri.

“Tak kan ada yang terluka, aku janji.”

“Berdirilah di tempatku Ben, dan cobalah berkunjung ke hati Roza. Kau dewa baginya. Ia bisa hancur Ben.”

“Jingga, aku tak pernah berencana untuk jatuh cinta padamu. Rasa ini datang, aku terperangkap, dan tiba-tiba aku merasa aku tak bisa hidup tanpamu.”

“Aku perempuan Ben, akan melahirkan anak perempuan, dan aku tak mau anak perempuanku menanggung dosa ibunya.”

“Tidak pernah ada orang yang menanggung dosa orang lain, meskipun itu ibu kandungnya.”

“Maaf  Ben, tapi aku percaya karma.”

“Jingga, tak ada yang salah, aku mohon jangan hukum aku.” Ben memeluknya. Ia lelah berlari, tangisnya pecah.

Ia jadi perempuan lemah. Walau Ben di sampingnya selau ada saja yang membuatnya terluka. Karena lisan bertaring tajam yang memamah kekuatannya. Juga tatap yang belomba menusukkan belati pada kisahnya. “Maaf Jingga. Aku harus menepati janji, selagi aku bisa.” Roza semakin merantainya. Seperti semua perempuan, Roza pun tak ingin berbagi cinta.

Sejak kehadiran Ning luka itu semakin sering datang. Ning, anak yang terlahir karena takdir, ia tidak pernah minta jadi anak istri kedua. Ia kutipi kekuatan saat Ning berkata, “Ma, adek ndak mau ke rumah nenek. Nenek ndak sayang sama adek. Cuma ayah di sana yang sayang adek.” Akh Ben, aku jadi begitu lemah dan penakut, bahkan untuk sekadar menatap lurus ke depan.

Hujan masih deras. Ben tak jadi datang, Roza sakit. “Besok jam lima aku pasti pulang.”

Ditutupnya semua pintu. Pada sajadah tangisnya pecah, ini adalah pilihannya.

“Mama, Ayah belum Pulang?” Ia peluk Ning.

“Aku lelaki, aku akan tepati janji, selagi aku bisa.” Ben sudah menunggu di depan pintu. Ia peluk Ben, lama. “Aku akan di sini selama dua hari, menemanimu dan Ning.” Ia tatap Ben, “Kita salat berjamaah ya.”

Subuh ini indah, ia tutup semua pintu. Ben sudah di dalam, tak ada lagi yang ditunggu. Hujan akhir-akhir ini semakin sering bertamu.

“Maaf Jingga, aku membuatmu menunggu.”

“Perempuan ditakdirkan menunggu, dan menunggumu ibadah bagiku.”

“Kau masih mampu bertahan kan?”

“Selagi masih ada cinta untukku dan Ning, aku akan coba terus bertahan.”

“Aku akan sering pulang.”

“Ya, seringlah jenguk Ning, karena selain aku, dia cuma punya kau, Ayahnya.” Ben mengusap pipinya, ia kembali menangis.

Ia telah memilih Ben, pilihan yang sakit dan ia berdoa cukup ia perempuan yang salah memilih. Pilihan yang menjadikannya penjahat di mata banyak orang. Tapi, berjalan mundur adalah menyakiti Ning. Ia harus bertahan, bukan hanya karena ia seorang istri, tapi lebih karena ia seorang ibu.

“Mama, Ayah udah pergi lagi, ya?”

Ia tersenyum, “Sebentar lagi Ayah pulang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun