Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kenapa Murid Tak Lagi Takut Guru ?

11 Oktober 2025   12:28 Diperbarui: 11 Oktober 2025   12:28 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya teringat satu momen di ruang kelas beberapa tahun lalu. Seorang siswi menangis pelan saat pelajaran berlangsung. Dulu, mungkin saya akan memintanya berhenti menangis dan fokus belajar. Tapi kali itu, saya memilih mendekat dan berkata pelan, “Kalau belum siap belajar, tidak apa-apa. Mau saya dengarkan dulu?” Ia mengangguk, lalu menceritakan bahwa pagi itu orang tuanya bertengkar hebat. Setelah itu, kami berbicara sebentar, dan ia melanjutkan belajar dengan mata yang masih sembab tapi dengan hati lebih ringan.

Momen-momen seperti itu mengingatkan saya bahwa pendidikan sejati tidak selalu lahir dari buku teks. Ia sering muncul dalam keheningan, ketika seorang anak merasa didengarkan tanpa dihakimi. Di situlah proses belajar yang sebenarnya dimulai.

Anak-anak zaman sekarang tumbuh di tengah tuntutan yang luar biasa besar. Mereka dituntut berprestasi, bersaing, tampil sempurna di media sosial, dan tetap sopan di dunia nyata. Tak heran jika sebagian dari mereka memilih diam. Tapi diam mereka bukan tanda acuh; sering kali itu adalah cara bertahan. Dan tugas kita sebagai guru bukan memaksa mereka bicara, melainkan menciptakan ruang aman agar mereka mau bicara.

Guru masa kini perlu lebih banyak mendengar bukan karena muridnya lemah, tapi karena mereka hidup di zaman yang jauh lebih bising. Di tengah hiruk pikuk dunia digital, kehadiran seorang guru yang benar-benar mau mendengar menjadi hal langka sekaligus berharga.

Saya percaya, mendengar adalah bentuk tertinggi dari menghormati. Ketika guru mendengar, murid merasa dihargai sebagai manusia, bukan hanya sebagai pelajar. Mereka belajar bahwa suara mereka penting, perasaan mereka diakui, dan kesalahan mereka tidak membuat mereka kehilangan cinta dari gurunya. Dari situlah lahir kepercayaan. Dan dari kepercayaan itulah, pendidikan sejati dimulai.

Bukan berarti disiplin tidak penting. Tapi disiplin yang efektif hari ini bukan lagi hasil dari ketakutan, melainkan dari kesadaran. Guru yang mendengar bisa menegakkan aturan tanpa kehilangan kedekatan. Ia bisa berkata, “Saya paham kamu kesal, tapi tetap harus ikut aturan, ya,” tanpa harus berteriak. Dan murid pun belajar untuk menghormati karena cinta, bukan karena takut.

Mungkin inilah wajah baru hubungan guru dan murid. Tidak lagi hierarkis seperti dulu, tapi lebih manusiawi. Guru bukan menara gading yang jauh, melainkan teman perjalanan yang lebih dulu melewati jalan yang sama.

Tiga puluh tahun lalu, murid diam karena takut. Sekarang mereka diam karena tak merasa didengar. Dan mungkin tugas kita hari ini adalah mengubah diam yang dingin itu menjadi hening yang penuh makna—hening yang lahir dari kepercayaan, bukan ketakutan.

Pada akhirnya, anak-anak masa kini tak butuh guru yang ditakuti. Mereka butuh guru yang bisa menjadi tempat pulang. Guru yang ketika murid merasa dunia terlalu bising, bisa berkata, “Tenang, saya di sini. Ceritakan saja.” Karena dari situlah pendidikan yang sesungguhnya bermula—dari hati yang mau mendengar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun