Tiga puluh tahun lalu, di ruang kelas dengan papan tulis kapur dan meja kayu berat, suasana belajar hampir selalu sunyi. Murid duduk tegak, tangan di atas meja, tak berani bersuara sebelum guru memberi izin. Tatapan guru saja sudah cukup membuat jantung berdebar. Dulu, murid diam karena takut.
Saya masih ingat ketika seorang teman di bangku SMP lupa membawa buku matematika. Guru kami, dengan penggaris panjang di tangan, menatap tajam sebelum menegur keras. Tak ada yang berani membela. Tak ada yang berani berkata apa pun. Kami belajar bahwa diam adalah bentuk keselamatan. Kami menghormati guru karena takut. Dan di zaman itu, rasa takut dianggap bentuk disiplin.
Namun kini, ruang kelas sudah berubah. Kapur diganti spidol, papan tulis digantikan layar interaktif. Tapi bukan hanya alat yang berubah—cara anak-anak memaknai otoritas pun bergeser. Murid zaman sekarang tidak lagi tunduk karena suara keras. Mereka justru menjauh ketika merasa tidak dipahami. Jika dulu mereka diam karena takut, sekarang mereka diam karena merasa tak didengarkan.
Saya sering mendengar keluhan dari rekan guru: “Anak-anak sekarang kurang ajar, tidak tahu sopan santun, tidak menghormati guru seperti dulu.” Saya mengerti perasaan itu. Tapi saya juga belajar bahwa dunia tempat anak-anak ini tumbuh sangat berbeda dari dunia kita dulu. Mereka lahir di tengah kebisingan media sosial, banjir informasi, dan tekanan sosial yang tak selalu tampak. Mereka terbiasa berbicara di dunia digital, tapi sering kesulitan mengekspresikan diri di dunia nyata.
Mereka bukan tidak sopan—mereka sedang mencari cara untuk dimengerti. Dan terkadang, yang mereka butuhkan bukan nasihat panjang, tapi telinga yang mau mendengar.
Saya pernah mengajar seorang siswa bernama Dimas—anak yang sering dipanggil ke ruang BK karena dianggap “nakal”. Suatu hari, saya memintanya tinggal sejenak setelah jam pelajaran. Bukan untuk menegur, tapi sekadar mengobrol. Awalnya ia diam, lalu perlahan bercerita tentang ayahnya yang jarang pulang dan ibunya yang bekerja dari pagi sampai malam. “Saya cuma capek, Pak. Capek dianggap bikin masalah terus.”
Kalimat itu sederhana, tapi saya merasa tertampar. Selama ini kami hanya melihat perilakunya, tapi tak pernah benar-benar mendengar kisah di baliknya. Sejak hari itu, setiap kali saya memanggil Dimas, saya mulai dengan pertanyaan, “Kamu lagi kenapa?” bukan “Kenapa kamu begini lagi?” Ajaibnya, sikapnya berubah perlahan. Ia mulai terbuka, dan nilai-nilainya ikut membaik.
Pengalaman itu membuat saya sadar: otoritas seorang guru di zaman sekarang tidak lagi terletak pada seberapa keras ia bisa menegur, tapi seberapa tulus ia mau memahami. Anak-anak masa kini tidak membutuhkan guru yang ditakuti, mereka butuh guru yang bisa menjadi tempat pulang—tempat di mana mereka diterima tanpa syarat.
Saya paham, perubahan ini tidak selalu mudah diterima. Generasi guru yang dibesarkan dalam budaya disiplin keras sering merasa kehilangan pegangan. Dulu, ketegasan identik dengan kekuasaan; sekarang, ketegasan harus bersanding dengan empati. Tapi justru di situlah letak tantangannya: bagaimana menyeimbangkan wibawa dan kehangatan, ketegasan dan kepedulian.
Mendengarkan bukan berarti mengurangi wibawa. Mendengarkan justru cara baru untuk menegaskan otoritas moral kita. Ketika murid merasa aman berbicara, mereka juga lebih siap untuk mendengar. Dan di sanalah hubungan sejati antara guru dan murid terbentuk—bukan dari rasa takut, tapi dari kepercayaan.
Saya teringat satu momen di ruang kelas beberapa tahun lalu. Seorang siswi menangis pelan saat pelajaran berlangsung. Dulu, mungkin saya akan memintanya berhenti menangis dan fokus belajar. Tapi kali itu, saya memilih mendekat dan berkata pelan, “Kalau belum siap belajar, tidak apa-apa. Mau saya dengarkan dulu?” Ia mengangguk, lalu menceritakan bahwa pagi itu orang tuanya bertengkar hebat. Setelah itu, kami berbicara sebentar, dan ia melanjutkan belajar dengan mata yang masih sembab tapi dengan hati lebih ringan.
Momen-momen seperti itu mengingatkan saya bahwa pendidikan sejati tidak selalu lahir dari buku teks. Ia sering muncul dalam keheningan, ketika seorang anak merasa didengarkan tanpa dihakimi. Di situlah proses belajar yang sebenarnya dimulai.
Anak-anak zaman sekarang tumbuh di tengah tuntutan yang luar biasa besar. Mereka dituntut berprestasi, bersaing, tampil sempurna di media sosial, dan tetap sopan di dunia nyata. Tak heran jika sebagian dari mereka memilih diam. Tapi diam mereka bukan tanda acuh; sering kali itu adalah cara bertahan. Dan tugas kita sebagai guru bukan memaksa mereka bicara, melainkan menciptakan ruang aman agar mereka mau bicara.
Guru masa kini perlu lebih banyak mendengar bukan karena muridnya lemah, tapi karena mereka hidup di zaman yang jauh lebih bising. Di tengah hiruk pikuk dunia digital, kehadiran seorang guru yang benar-benar mau mendengar menjadi hal langka sekaligus berharga.
Saya percaya, mendengar adalah bentuk tertinggi dari menghormati. Ketika guru mendengar, murid merasa dihargai sebagai manusia, bukan hanya sebagai pelajar. Mereka belajar bahwa suara mereka penting, perasaan mereka diakui, dan kesalahan mereka tidak membuat mereka kehilangan cinta dari gurunya. Dari situlah lahir kepercayaan. Dan dari kepercayaan itulah, pendidikan sejati dimulai.
Bukan berarti disiplin tidak penting. Tapi disiplin yang efektif hari ini bukan lagi hasil dari ketakutan, melainkan dari kesadaran. Guru yang mendengar bisa menegakkan aturan tanpa kehilangan kedekatan. Ia bisa berkata, “Saya paham kamu kesal, tapi tetap harus ikut aturan, ya,” tanpa harus berteriak. Dan murid pun belajar untuk menghormati karena cinta, bukan karena takut.
Mungkin inilah wajah baru hubungan guru dan murid. Tidak lagi hierarkis seperti dulu, tapi lebih manusiawi. Guru bukan menara gading yang jauh, melainkan teman perjalanan yang lebih dulu melewati jalan yang sama.
Tiga puluh tahun lalu, murid diam karena takut. Sekarang mereka diam karena tak merasa didengar. Dan mungkin tugas kita hari ini adalah mengubah diam yang dingin itu menjadi hening yang penuh makna—hening yang lahir dari kepercayaan, bukan ketakutan.
Pada akhirnya, anak-anak masa kini tak butuh guru yang ditakuti. Mereka butuh guru yang bisa menjadi tempat pulang. Guru yang ketika murid merasa dunia terlalu bising, bisa berkata, “Tenang, saya di sini. Ceritakan saja.” Karena dari situlah pendidikan yang sesungguhnya bermula—dari hati yang mau mendengar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI