Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kenapa Murid Tak Lagi Takut Guru ?

11 Oktober 2025   12:28 Diperbarui: 11 Oktober 2025   12:28 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga puluh tahun lalu, di ruang kelas dengan papan tulis kapur dan meja kayu berat, suasana belajar hampir selalu sunyi. Murid duduk tegak, tangan di atas meja, tak berani bersuara sebelum guru memberi izin. Tatapan guru saja sudah cukup membuat jantung berdebar. Dulu, murid diam karena takut.

Saya masih ingat ketika seorang teman di bangku SMP lupa membawa buku matematika. Guru kami, dengan penggaris panjang di tangan, menatap tajam sebelum menegur keras. Tak ada yang berani membela. Tak ada yang berani berkata apa pun. Kami belajar bahwa diam adalah bentuk keselamatan. Kami menghormati guru karena takut. Dan di zaman itu, rasa takut dianggap bentuk disiplin.

Namun kini, ruang kelas sudah berubah. Kapur diganti spidol, papan tulis digantikan layar interaktif. Tapi bukan hanya alat yang berubah—cara anak-anak memaknai otoritas pun bergeser. Murid zaman sekarang tidak lagi tunduk karena suara keras. Mereka justru menjauh ketika merasa tidak dipahami. Jika dulu mereka diam karena takut, sekarang mereka diam karena merasa tak didengarkan.

Saya sering mendengar keluhan dari rekan guru: “Anak-anak sekarang kurang ajar, tidak tahu sopan santun, tidak menghormati guru seperti dulu.” Saya mengerti perasaan itu. Tapi saya juga belajar bahwa dunia tempat anak-anak ini tumbuh sangat berbeda dari dunia kita dulu. Mereka lahir di tengah kebisingan media sosial, banjir informasi, dan tekanan sosial yang tak selalu tampak. Mereka terbiasa berbicara di dunia digital, tapi sering kesulitan mengekspresikan diri di dunia nyata.

Mereka bukan tidak sopan—mereka sedang mencari cara untuk dimengerti. Dan terkadang, yang mereka butuhkan bukan nasihat panjang, tapi telinga yang mau mendengar.

Saya pernah mengajar seorang siswa bernama Dimas—anak yang sering dipanggil ke ruang BK karena dianggap “nakal”. Suatu hari, saya memintanya tinggal sejenak setelah jam pelajaran. Bukan untuk menegur, tapi sekadar mengobrol. Awalnya ia diam, lalu perlahan bercerita tentang ayahnya yang jarang pulang dan ibunya yang bekerja dari pagi sampai malam. “Saya cuma capek, Pak. Capek dianggap bikin masalah terus.”

Kalimat itu sederhana, tapi saya merasa tertampar. Selama ini kami hanya melihat perilakunya, tapi tak pernah benar-benar mendengar kisah di baliknya. Sejak hari itu, setiap kali saya memanggil Dimas, saya mulai dengan pertanyaan, “Kamu lagi kenapa?” bukan “Kenapa kamu begini lagi?” Ajaibnya, sikapnya berubah perlahan. Ia mulai terbuka, dan nilai-nilainya ikut membaik.

Pengalaman itu membuat saya sadar: otoritas seorang guru di zaman sekarang tidak lagi terletak pada seberapa keras ia bisa menegur, tapi seberapa tulus ia mau memahami. Anak-anak masa kini tidak membutuhkan guru yang ditakuti, mereka butuh guru yang bisa menjadi tempat pulang—tempat di mana mereka diterima tanpa syarat.

Saya paham, perubahan ini tidak selalu mudah diterima. Generasi guru yang dibesarkan dalam budaya disiplin keras sering merasa kehilangan pegangan. Dulu, ketegasan identik dengan kekuasaan; sekarang, ketegasan harus bersanding dengan empati. Tapi justru di situlah letak tantangannya: bagaimana menyeimbangkan wibawa dan kehangatan, ketegasan dan kepedulian.

Mendengarkan bukan berarti mengurangi wibawa. Mendengarkan justru cara baru untuk menegaskan otoritas moral kita. Ketika murid merasa aman berbicara, mereka juga lebih siap untuk mendengar. Dan di sanalah hubungan sejati antara guru dan murid terbentuk—bukan dari rasa takut, tapi dari kepercayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun