Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Rahasia Guru Bertahan Bukan Soal Gaji

7 Oktober 2025   15:47 Diperbarui: 7 Oktober 2025   20:31 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru sedang mengajar di dalam kelas. Sumber foto: dokumen pribadi 

Transparansi juga bagian penting dari komunikasi yang sehat. Saya belajar bahwa ketika kebijakan dijelaskan dengan jujur, guru akan lebih mudah memahami konteksnya.

Kalimat seperti, "Kita ambil keputusan ini karena kondisi anggaran kita begini," jauh lebih bermakna daripada instruksi tanpa penjelasan. Guru bukan anak kecil yang harus patuh tanpa bertanya; mereka profesional yang juga ingin diajak berpikir bersama.

Saya masih ingat, waktu itu kepala sekolah saya selalu menyempatkan untuk mengucapkan terima kasih setiap kali program sekolah berjalan dengan baik. 

Kadang hanya lewat pesan singkat, "Terima kasih, Pak, sudah memandu acara kemarin." Tapi rasanya seperti energi baru. Guru tak selalu butuh pujian besar, cukup pengakuan kecil bahwa kerja keras mereka terlihat.

Dan tentu, apresiasi itu harus tulus. Saya pernah mencoba mempraktikkan hal ini ketika sudah menjadi kepala sekolah. Di akhir semester, saya mengunjungi ruang guru satu per satu, sekadar berkata, "Terima kasih, Bu. Saya tahu laporan ini berat, tapi Bapak/Ibu sudah menyelesaikannya dengan baik." Saya melihat wajah-wajah lelah berubah menjadi lega. Ternyata, ucapan sederhana bisa menjadi semacam pelukan simbolik di tengah tekanan kerja.

Tapi kepemimpinan tidak berhenti di ucapan formal. Kepedulian personal justru sering muncul di sela-sela rutinitas. Menanyakan kabar, mengingat anak guru yang sedang sakit, atau sekadar mengingatkan untuk pulang lebih cepat ketika hari sudah sore---hal-hal kecil yang menunjukkan bahwa kepala sekolah bukan hanya atasan, tapi sesama manusia.

Saya belajar, guru yang merasa dilihat sebagai pribadi akan jauh lebih loyal daripada guru yang hanya dilihat dari hasil kerjanya. "Bagaimana kabarnya, Pak?" atau "Akhir pekan kemarin sempat istirahat, Bu?" mungkin terdengar biasa, tapi itu bisa menjadi bentuk penghargaan paling tulus. Guru merasa aman untuk menjadi diri sendiri, dan di situ semangatnya justru tumbuh.

Sebagai kepala sekolah, saya juga berusaha menerapkan paradigma kepemimpinan yang melayani. Bukan "apa yang bisa guru lakukan untuk sekolah," tapi "apa yang bisa saya lakukan agar guru bisa bekerja dengan nyaman." Kadang saya turun langsung membantu menyusun laporan BOS, atau menemani guru yang sedang kesulitan dengan aplikasi Dapodik. Bukan karena saya ingin tampil hebat, tapi karena saya tahu betapa berharganya dukungan kecil ketika beban kerja terasa menumpuk.

Ada pula pelajaran penting tentang mendengar. Saya pernah punya kebiasaan buruk: ingin cepat menanggapi setiap keluhan guru dengan solusi. Lama-lama saya sadar, kadang mereka tidak butuh solusi, hanya butuh telinga.

Sejak itu, saya lebih sering berkata, "Silakan cerita dulu, saya dengarkan." Ajaibnya, begitu guru merasa didengarkan, sebagian besar masalah selesai dengan sendirinya.

Sekolah yang baik bukan hanya tempat siswa belajar, tapi juga tempat kepala sekolah dan guru tumbuh bersama. Umpan balik menjadi hal yang alami, bukan menakutkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun