Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Rahasia Guru Bertahan Bukan Soal Gaji

7 Oktober 2025   15:47 Diperbarui: 7 Oktober 2025   20:31 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru sedang mengajar di dalam kelas. Sumber foto: dokumen pribadi 

Dua puluh tahun yang lalu, ketika saya masih menjadi guru honorer di sebuah SMA swasta, saya mengalami satu peristiwa yang hingga kini tak pernah saya lupakan. Waktu itu, saya baru dua tahun mengajar, gaji pas-pasan, dan sering kali harus menunggu honor cair hingga akhir bulan.

Suatu sore selepas mengajar, kepala sekolah memanggil saya ke ruangannya. Saya sempat gugup, mengira akan ditegur karena administrasi yang belum rapi. Tapi yang keluar dari mulut beliau justru kalimat sederhana, "Pak, sudah sempat makan?"

Kalimat itu terdengar ringan, tapi ada sesuatu yang hangat di baliknya. Kepala sekolah itu tidak sekadar bertanya soal perut, tapi soal perhatian. Ia tahu, di balik senyum seorang guru honorer, ada banyak letih yang disembunyikan.

Sore itu, sambil menyeruput teh di ruang kepala sekolah, saya sadar satu hal: perhatian kecil bisa menjadi alasan besar seseorang untuk tetap bertahan.

Kini, setelah bertahun-tahun berlalu dan saya sendiri memimpin sekolah, saya sering teringat momen itu. Dunia pendidikan berubah cepat.

Beban kerja guru semakin berat, administrasi semakin menumpuk, dan ekspektasi masyarakat terus meningkat. Namun satu hal yang tetap sama: guru tetap manusia. Mereka bisa lelah, bisa kecewa, tapi juga bisa sangat setia---jika merasa dihargai.

Banyak sekolah kini menghadapi masalah yang sama: retensi guru. Setiap tahun, selalu ada yang pindah, berhenti, atau memilih profesi lain. Kita sering mencari solusi dalam angka---menaikkan honor, memperbaiki fasilitas, menambah tunjangan.

Tapi di balik semua itu, ada hal yang lebih sederhana namun mendasar: cara kepala sekolah berbicara. Kata-kata bisa menjadi alasan seorang guru bertahan, atau sebaliknya, alasan untuk pergi diam-diam.

Saya pernah melihat bagaimana satu pertanyaan sederhana seperti, "Menurut Bapak/Ibu, bagaimana kalau kita ubah sistemnya begini?" bisa menyalakan semangat baru. Ketika kepala sekolah mau mendengar, guru merasa dihargai.

Mereka bukan lagi sekadar pelaksana kebijakan, tapi bagian dari proses. Dari situ tumbuh rasa memiliki, dan rasa memiliki itulah yang membuat seseorang bertahan bahkan ketika situasi tidak selalu mudah.

Transparansi juga bagian penting dari komunikasi yang sehat. Saya belajar bahwa ketika kebijakan dijelaskan dengan jujur, guru akan lebih mudah memahami konteksnya.

Kalimat seperti, "Kita ambil keputusan ini karena kondisi anggaran kita begini," jauh lebih bermakna daripada instruksi tanpa penjelasan. Guru bukan anak kecil yang harus patuh tanpa bertanya; mereka profesional yang juga ingin diajak berpikir bersama.

Saya masih ingat, waktu itu kepala sekolah saya selalu menyempatkan untuk mengucapkan terima kasih setiap kali program sekolah berjalan dengan baik. 

Kadang hanya lewat pesan singkat, "Terima kasih, Pak, sudah memandu acara kemarin." Tapi rasanya seperti energi baru. Guru tak selalu butuh pujian besar, cukup pengakuan kecil bahwa kerja keras mereka terlihat.

Dan tentu, apresiasi itu harus tulus. Saya pernah mencoba mempraktikkan hal ini ketika sudah menjadi kepala sekolah. Di akhir semester, saya mengunjungi ruang guru satu per satu, sekadar berkata, "Terima kasih, Bu. Saya tahu laporan ini berat, tapi Bapak/Ibu sudah menyelesaikannya dengan baik." Saya melihat wajah-wajah lelah berubah menjadi lega. Ternyata, ucapan sederhana bisa menjadi semacam pelukan simbolik di tengah tekanan kerja.

Tapi kepemimpinan tidak berhenti di ucapan formal. Kepedulian personal justru sering muncul di sela-sela rutinitas. Menanyakan kabar, mengingat anak guru yang sedang sakit, atau sekadar mengingatkan untuk pulang lebih cepat ketika hari sudah sore---hal-hal kecil yang menunjukkan bahwa kepala sekolah bukan hanya atasan, tapi sesama manusia.

Saya belajar, guru yang merasa dilihat sebagai pribadi akan jauh lebih loyal daripada guru yang hanya dilihat dari hasil kerjanya. "Bagaimana kabarnya, Pak?" atau "Akhir pekan kemarin sempat istirahat, Bu?" mungkin terdengar biasa, tapi itu bisa menjadi bentuk penghargaan paling tulus. Guru merasa aman untuk menjadi diri sendiri, dan di situ semangatnya justru tumbuh.

Sebagai kepala sekolah, saya juga berusaha menerapkan paradigma kepemimpinan yang melayani. Bukan "apa yang bisa guru lakukan untuk sekolah," tapi "apa yang bisa saya lakukan agar guru bisa bekerja dengan nyaman." Kadang saya turun langsung membantu menyusun laporan BOS, atau menemani guru yang sedang kesulitan dengan aplikasi Dapodik. Bukan karena saya ingin tampil hebat, tapi karena saya tahu betapa berharganya dukungan kecil ketika beban kerja terasa menumpuk.

Ada pula pelajaran penting tentang mendengar. Saya pernah punya kebiasaan buruk: ingin cepat menanggapi setiap keluhan guru dengan solusi. Lama-lama saya sadar, kadang mereka tidak butuh solusi, hanya butuh telinga.

Sejak itu, saya lebih sering berkata, "Silakan cerita dulu, saya dengarkan." Ajaibnya, begitu guru merasa didengarkan, sebagian besar masalah selesai dengan sendirinya.

Sekolah yang baik bukan hanya tempat siswa belajar, tapi juga tempat kepala sekolah dan guru tumbuh bersama. Umpan balik menjadi hal yang alami, bukan menakutkan.

Guru bisa memberi masukan tanpa takut, dan kepala sekolah bisa memberi koreksi tanpa merendahkan. Saya suka menggunakan kalimat seperti, "Mungkin ke depan bisa dicoba cara ini ya, Bu," karena kalimat itu memberi ruang tumbuh, bukan tekanan.

Yang juga tak kalah penting adalah kepercayaan. Saat saya masih guru honorer dulu, kepala sekolah pernah memberi saya tanggung jawab memimpin lomba antar-kelas.

Saya sempat ragu karena merasa belum berpengalaman. Tapi beliau hanya berkata, "Saya percaya kamu bisa." Kalimat itu menempel sampai hari ini. Dan mungkin, itulah awal dari keberanian saya untuk terus melangkah di dunia pendidikan.

Ketika saya menjadi kepala sekolah, saya berusaha melakukan hal yang sama: memberi kepercayaan kepada guru-guru muda untuk memimpin program, mempresentasikan ide, atau mencoba metode baru.

Kadang mereka gugup, tapi dengan kepercayaan datang tanggung jawab dan kebanggaan. Sekolah pun tumbuh, bukan karena satu orang hebat di puncak, tapi karena banyak orang yang diberdayakan.

Saya juga belajar satu hal penting dari kepala sekolah saya dulu: jangan takut minta maaf. Saya masih ingat ketika beliau berkata, "Maaf, ini memang kelalaian saya." Tak ada rasa malu, justru kami semakin menghormatinya. Kejujuran dan kerendahan hati seperti itu menjadi cermin kepemimpinan yang sejati.

Dua puluh tahun berlalu sejak hari ketika saya ditanya, "Sudah sempat makan?" Tapi makna kalimat itu masih sama kuatnya hingga kini. Guru bertahan bukan karena gaji besar atau fasilitas mewah, tapi karena merasa dihargai dan diperlakukan manusiawi. Setiap kata dari kepala sekolah membentuk suasana sekolah: apakah jadi tempat yang menekan, atau tempat yang menumbuhkan.

Kata-kata, ternyata, bisa lebih kuat dari insentif. Mereka bisa membangun rasa percaya, menghidupkan semangat, dan mengikat hati. Di tengah dunia pendidikan yang makin kompleks, komunikasi yang humanis bukan lagi kemewahan---ia kebutuhan.

Karena di balik setiap kata yang hangat, ada pesan yang jauh lebih dalam: "Saya peduli." Dan kadang, kepedulian itulah alasan seorang guru memilih untuk tetap bertahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun