Perlahan, aku menyendok nasi uduk itu. Rasanya persis seperti buatan Ibu. Hangat, gurih, dengan aroma pandan yang lembut. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Rasanya seperti Ibu ada di sini, duduk di sampingku, tersenyum melihatku menikmati masakannya.
"Dulu," Mbok Darmi melanjutkan sambil duduk di sampingku, "waktu Mbak Ana mulai sibuk kerja, Ibu sering bilang ke saya. 'Mi, tolong jaga Ana ya. Anak itu terlalu keras sama dirinya sendiri. Kalau sudah kerja, suka lupa makan.'"
Dadaku sesak mendengarnya. "Mbok ingat kapan terakhir kali saya masak dengan Ibu?"
"Dua tahun lalu, Mbak. Waktu itu Ibu masak nasi uduk spesial untuk ulang tahun Mbak Ana. Tapi Mbak ada meeting mendadak..."
"Dan saya langsung berangkat tanpa sempat mencicipi masakan Ibu," sambungku, mengingat hari itu dengan jelas sekarang. "Ibu simpan nasinya sampai malam, tapi waktu saya pulang, nasinya sudah tidak hangat lagi."
Mbok Darmi mengangguk. "Tapi Ibu tidak pernah marah. Beliau cuma bilang, 'Namanya juga anak muda, Mi. Kita yang harus memahami.'"
Aku terisak. Selama ini, aku terlalu sibuk dengan rasa bersalahku, sampai lupa bahwa Ibu selalu memaafkan. Aku sibuk mengunjungi makamnya, mencari kehadirannya di sana, sementara jejaknya masih hidup di rumah ini---dalam setiap masakan Mbok Darmi, dalam setiap sudut dapur yang masih menyimpan kenangannya. Ibu mungkin sudah pergi, tapi cintanya masih ada di sini, dalam setiap detil kehidupan yang kulewati.
"Mbak," Mbok Darmi mengeluarkan sesuatu dari saku celemeknya. Sebuah notes kecil yang sudah menguning. "Ini saya temukan waktu beres-beres lemari Ibu minggu lalu. Mungkin Mbak mau baca."
Dengan tangan gemetar, aku membuka notes itu. Di dalamnya, tulisan tangan Ibu yang rapi berbaris:
"Resep Nasi Uduk untuk Ana:
2 cangkir beras