Mohon tunggu...
Syahrani Abda Syakura
Syahrani Abda Syakura Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidikan Sosiologi UNJ

Membaca jendela dunia, menulis mencetak sejarah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Pendidikan: Pendidikan Pasca Pandemi dari Perspektif Paulo Freire

22 Desember 2022   21:36 Diperbarui: 22 Desember 2022   22:05 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengantar

Covid-19 yang terjadi belakangan ini memberikan banyak perubahan di tengah masyarakat. Terutama terkait dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah sebagai upaya memutus rantai penyebaran virus. Salah satu kebijakan yang diberlakukan adalah phsycal distancing dan Work From Home (WFH) di berbagai lembaga, tidak terkecuali lembaga pemerintah.

Hal ini tentu memberikan dampak yang cukup signifkan, lantaran pembelajaran yang biasanya dilakukan secara tata muka harus dilakukan di rumah masing-masing. Untungnya pesatnya perkembangan teknologi saat ini mampu enciptakan inovasi dalam menjawab persoalan zaman, sehingga pembelajaran jarak jauh dapat tetap dilakukan. Dengan menggunakan media internet, media sosial, dan beberapa platform tertentu yang menunjang kegiatan belajar mengajar di rumah. Namun, perkembangan teknologi ini juga menjadi boomerang tersendiri dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia.

Dampak Media Sosial dan 'Pendidikan Gaya Bank'

Perkembangan teknologi saat ini layaknya dua belah mata pisau yang saling berseberangan bagi pendidikan. Disatu sisi perkembangan teknologi memberikan banyak manfaat dan kemudahan dalam mencari dan menyebarkan infomasi, memberikan inspirasi, hingga membantu guru dalam mengumpulkan tugas peserta didik tanpa mengenal tempat dan waktu sehingga dapat lebih fleksibel ketika pembelajaran dilakukan di rumah. Akan tetapi di sisi lain kemudahan ini melahirkan dehumanisasi dan menurunnya kesadaran kritis dalam pendidikan. Penyebabnya adalah teknologi itu sendiri, karena banyaknya media sosial yang berkembang di masyarakat.

Ditambah lagi kondisi pandemi yang membuat terhambatnya mobilitas manusia dan berkurangnya sarana sosial karena batasan yang diberlakukan membuat masyarakat menjadi terlalu bergantung pada media elektronik mereka masing-masing terutama smartphone. Smartphone seolah menjadi jantung dalam kehidupan individu yang tidak dapat dilepas dari genggaman sebagai akses dalam memberikan dan menerima informasi dari siapa saja yang terhubung dalam internet. Maka selain memberikan dampak positif dari penyebaran informasi, tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial juga memberikan dampak negatif bagi pendidikan. Di mana peserta didik jadi tidak bersemangat dalam belajar dan membaca buku pelajaran serta mencari sumber belajar lainnya, sementara mereka lebih tertarik pada aplikasi yang bersifat hiburan dan mengakibatkan kecanduan hingga malas.  


Melihat realitas yang terjadi di masa pandemi ini membuat pendidikan mengalami degradasi. Selain karena banyaknya penggunaan media sosial yang megalihkan fokus peserta didik, tapi juga karena terbatasnya kurikulum dalam menghadapi situasi darurat Covid-19 dan kurangnya kesiapan guru akan teknologi membuat pembelajaran dijalankan dengan seadanya.

Pembelajaran yang dilakukan menjadi kurang kondusif dan menjadi pembelajaran satu arah sehingga sulit untuk membagun dialog di dalamnya. Di mana guru menjadi subjek aktif dengan menerangkan dan memberi materi menggunakan platform, sedangkan perserta didik menjadi objek pasif yang mendengarkan dan menerima materi yang dikirim oleh guru. Guru memberikan pengetahuan yang harus dihafal dan dikuasai oleh peserta didik tanpa adanya kesempatan dan akses bertanya yang mengakibatkan menurunnya daya kitis pada peserta didik. Konsep inilah yang disebut Freire sebagai pendidikan 'Gaya Bank' yang terjadi di tengah pandemi karena keterbatasan interaksi, sehingga peserta didik hanya perlu menelan tanpa mengunyah setiap hal yang diberikan. 

Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai "celengan" dan guru sebagai"penabung". Lebih parah lagi pada realitasnya, guru hanya berfokus pada 'bagaimana agar semua materi yang ada dapat tersampaikan dalam satu semester' tanpa peduli pada 'apakah peserta didik benar-benar memahami materi tersebut' dan pada perbedaan kemampuan anak dalam menangkap materi yang diberikan. 

Sulitnya interaksi juga membuat peserta didik tidak mengenal guru lebih dekat sehingga guru menjadi sosok yang ditakuti dan disegani, pertanyaan dan kritik di dalam kelas bisa saja berakibat pada nilai sehingga melahirkan kebingungan pada peserta didik yang berakhir pada terbenamnya mereka dalam kebudayaan bisu. 

Hal inilah yang diartikan Freire sebagai dehumanisasi dalam pendidikan, ketika individu mengalami dehumanisasi, dia tidak dapat berbicara akan kehidupannya. Akibatnya, individu tidak akan mampu untuk mentransformasikan realitas kehidupan mereka. Lebih buruknya lagi adalah jika peserta didik hanya mengerjakan ujian berdasarkan jawaban yang tertulis di internet tanpa mengetahui urgensi dari pembelajaran tersebut, karena tuntutan kewajiban megenai nilai yang perlu dicapai dan prestasi guna menunjang peserta didik agar dapat naik ke tingkat selanjutnya tanpa adanya mutu yang diperoleh dari pembelajaran tersebut. Maka tujuan pendidikan bukan lagi sebagai upaya memanusiakan manusia, tapi hanya sebagai pemenuhan pasar modal dan kebutuhan perusahaan saja.

Kebiasaan untuk selalu menerima apa yang diberikan dalam konsep pendididkan gaya bank ini berlanjut di era new normal dalam pembelajaran tatap muka. Dilihat dari pasifnya respon peserta didik di dalam kelas dan diskusi, karena menjadikan guru sebagai kiblat pengetahuan mereka. Pendidikan gaya bank telah mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir serta tidak munculnya kesadaran kritis pada diri peserta didik. Padahal seharusnya institusi pendidikan menjadi wadah berpikir yang memberikan kebebasan dalam berpendapat dan membangun nalar kritis sebagai tujuan utama. Maka dalam menemukan kembali humanisasi dalam institusi pendidikan Freire menawarkan konsep pengajaran hadap masalah.

Pengajaran Hadap Masalah dan Kesadaran Kritis

Sementara pendidikan gaya bank membius dan mematikan daya kreatif, maka pendidikan hadap masalah menyangkut suatu proses penyingkapan realitas secara terus-menerus. Di mana yang disebutkan pertama berusaha mempertahankan penenggelaman kesadaran sementara yang disebut di akhir berjuang untuk kebangkitan kesadaran dan keterlibatan kritis dalam realitas. Pendidikan hadap masalah menjadi praktik kebebasan peserta didik dalam menghubungkan masalah-masalah dengan dunia dan akan menciptakan rasa tertantang dan berkewajiban untuk menjawab tantangan ini. 

Konsep pendidikan hadap masalah menggunakan konsep dialogis yang oleh Freire menjadi antitesa dari konsep pendidikan 'gaya bank', yang dilatar belakangi oleh semangat perjuangan untuk menempatkan humanisasi sebagai episentrum pendidikan. Sehingga pendidikan hadap-masalah menjadi upaya dalam mengurangi keterasingan dan dehumanisme yang ada di institusi pendidikan.

Pada dasarnya pengajaran hadap masalah adalah suatu usaha untuk menjawab diskomunikasi antara guru dengan murid menuju suasana dialogis. Melalui dialog atau dialektika pendidikan akan mampu membangkitkan kesadaran kritis peserta didik dari kemampuannya merefleksikan kondisi personalnya terhadap dinamika sosial yang terjadi disekelilingnya. Dalam praktik ini guru bukan lagi sebagai pengajar, tetapi antara guru dan peserta didik merupakan aktor yang sama-sama belajar layaknya rekan pada saat berinteraksi di dalam kelas.  Wacana ini dapat meningkatkan kesadaran terhadap guru dan murid sehingga proses dalam belajar dapat naik satu tingkat lebih tinggi. Konsep pendidikan ini dapat menjadi pertimbangan dalam penerapan pendidikan pasca pandemi untuk beradaptasi dengan struktur sosial yang baru.

Maka pendidikan di era new normal harus bersifat learning to do (belajar berbuat) agar peserta didik dapat mandiri dalam belajar dan mengatasi masalah yang dihadapi di kehidupan sehari-harinya. Learning to live together (belajar hidup bersama) dan learning to be, sebagai sarana membentuk kepribadiannya. Sehingga pendidikan tidak hanya beorientasi pada nilai akademik saja tapi terpenuhi dari segi afektif dan psikomotorik. Oleh karena itu, dalam era globaliasi ini pendidikan mampumembangun habituasi baru untuk melahirkan lulusan yang berorientasi masa depan, bersikap progresif, mampu memilah dan memilih secara bijak dan membuat perencanaan dengan baik.

Berdasarkan pendidikan kritis ini maka akan menumbuhkan rasa percaya didri yang penuh pada diri peserta didik dan mampu membuat pilihan yang bijak serta bersaing dalam era globalisasi secara kopetitif. Hal ini disebabkan model pengajaran hadap masalah adalah model pengajaran yang mampu mendinamisasikan dan membelajarkan peserta didik dalam proses belajar mengajar, sehingga tujuan pendidikan mamanusiakan manusia mampu tercapai dan pendidikan sebagai praktek pembebasan.

Oleh sebab itu, pemerintah sedang berusaha membangun kurikulum yang sepadan dengan kebebasan bagi peserta didik dalam kurikulum merdeka. Agar perkembangan teknologi yang pesat tidak akan sia-sia dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Maka kurikulum yang baik adalah hasil dari pikiran yang tidak tertindas dan dilandasi dengan argumen yang kuat.

Kesimpulan

Pesatnya perkembangan peradaban harus diiringi dengan pola pikir yang sehat dan bebas, sehingga mampu melahirkan pikiran-pikiran kritis. Untuk menunjang hal tersebut pendidikan dan kurikulum harus di desain sedemikian rupa agar dapat memberi dorongan dalam berpendapat dan melahirkan kepekaan sosial terhadap perubahan yang terjadi. Pendidikan 'gaya bank' sudah tidak diperlukan dan harus diganti dengan pendidikan hadap-masalah agar tercipta habitus baru dalam globalisasi yang menciptakan nalar kritis di masyarakat.

Daftar Pustaka

Buku

Hidayat, R. (2013). Pedagogi Kritis Sejarah, Perkembangan dan Pemikiran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Paulo Freire. (2000). Pendidikan kaum tertindas. Jakarta : Lp3es.

Suprijono, A., & dkk. (2020). KESIAPAN DUNIA PENDIDIKAN MENGHADAPI ERA NEW NORMAL. Jakarta : IAIN Parepare Nusantara Press.

Webpage

Oktavia, D. (2021, January 8). Implementasi Pemikiran Paulo Freire dalam Pendidikan di Masa Pandemi Covid-19. Kumparan. https://kumparan.com/dhinar-oktavia/implementasi-pemikiran-paulo-freire-dalam-pendidikan-di-masa-pandemi-covid-19-1uwHdNxCt9g/4

Wafi, H. (2021, January 3). Pendidikan Pascapandemi: Sebuah Diskursus Reflektif Pendidikan Kritis Paulo Freire. Medium. https://wafim.medium.com/pendidikan-pascapandemi-sebuah-diskursus-reflektif-pendidikan-kritis-paulo-freire-bf4ff44cf60

Jurnal

Bahri, S. (2019). Pendidik Yang Membelajarkan (Gaya Bank vs Hadap Masalah). IQRO: Journal of Islamic Education, 2(1), 1--16. https://doi.org/10.24256/iqro.v2i1.846

Samsudin, U. (2020). PENDIDIKAN KRITIS DI ERA PANDEMI COVID 19 DAN MEDIA SOSIAL. Tarbawi, Vol. 3(2).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun