Bayangkan seorang anak kecil menggambar rumah di kertas. Ia menggambar matahari, gunung, awan, dan orang-orang tersenyum. Tetapi ketika anak yang sama bermain di tablet, menggambar yang muncul bisa berubah: bentuk lebih rapi, warna lebih realistis, tapi wajah-wajah itu hilang. Tidak ada matahari, tidak ada awan---hanya objek-objek digital yang bisa digeser dan dihapus. Dari contoh kecil inilah para peneliti bertanya: bagaimana sebenarnya anak-anak memandang dunia ketika mereka tumbuh dalam teknologi?
Itulah inti penelitian yang dilakukan oleh Reich dkk (2025) dengan pendekatan filsafat Martin Heidegger. Mereka ingin memahami bukan sekadar bagaimana anak menggunakan teknologi, tetapi bagaimana teknologi mengubah cara anak memahami dunia---alam, sesama, dan dirinya sendiri.
Dunia sebagai "Standing Reserve" di Mata Anak
Penelitian ini menemukan bahwa banyak anak memandang dunia secara instrumental, artinya mereka melihat segala sesuatu dari fungsi dan kegunaannya. Alam dianggap sebagai tempat untuk diambil manfaatnya, bukan untuk dinikmati. Misalnya, seorang anak mengatakan bahwa hutan "berguna untuk membuat kertas atau rumah," bukan sebagai tempat hidup pohon atau hewan.
Pandangan seperti ini adalah cerminan dari apa yang disebut Heidegger sebagai enframing---cara berpikir yang membingkai dunia sebagai "standing reserve" atau sumber daya siap pakai. Dunia dilihat seperti gudang besar, di mana setiap hal bisa dimanfaatkan, diatur, dan diukur.
Dalam konteks anak-anak, hasil wawancara menunjukkan bahwa mereka semakin jarang menghubungkan teknologi dengan alam atau kehidupan sosial. Komputer, ponsel, dan robot dianggap bagian alam yang "baru," seolah dunia digital adalah kenyataan utama. Dunia fisik menjadi sekunder, pelengkap saja.
Anak dan Ilusi Kontrol atas Dunia
Menariknya, sebagian besar anak merasa punya kendali atas teknologi. Mereka mengatakan bisa "mengatur" atau "menguasai" dunia lewat alat digital. Namun peneliti menunjukkan sisi ironis: justru teknologi yang perlahan mengatur cara berpikir mereka.
Seorang anak menjelaskan bahwa dia suka game karena "semuanya bisa dikendalikan, tidak seperti dunia nyata." Ini adalah bentuk enframing yang paling halus: dunia nyata terasa tidak menentu dan membingungkan, sedangkan dunia digital memberi ilusi keteraturan. Anak merasa berkuasa di sana---padahal ia sedang dikurung dalam bingkai sistem buatan.
Heidegger menyebut hal ini sebagai "bahaya tersembunyi teknologi." Bahayanya bukan robot yang menyerang manusia, melainkan manusia berhenti bertanya tentang makna. Dunia dilihat hanya dari sisi kegunaan, bukan keberadaannya.
Teknologi Menggeser Rasa dan Imajinasi
Para peneliti juga menemukan pergeseran halus dalam cara anak mengekspresikan emosi dan imajinasi. Anak-anak yang akrab dengan teknologi cenderung menggambarkan pengalaman hidup secara visual dan logis---bukan emosional. Ketika diminta menjelaskan "apa itu dunia," banyak yang menggambarkan jaringan, komputer, dan koneksi, bukan pepohonan, keluarga, atau hewan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi membuat anak berpikir lebih sistematis, tetapi juga lebih datar secara afektif. Imajinasi yang spontan---seperti mengaitkan sungai dengan cerita atau hewan dengan teman---mulai digantikan oleh penjelasan fungsional dan mekanis.
Namun, tidak semua anak begitu. Beberapa masih menampilkan pandangan "poetis", yaitu melihat teknologi dan alam sebagai dua dunia yang bisa berdialog. Anak-anak ini biasanya memiliki lebih banyak pengalaman langsung dengan alam: bermain di luar rumah, bercakap dengan teman, atau membantu pekerjaan keluarga. Mereka lebih sadar bahwa teknologi hanyalah bagian dari kehidupan, bukan pusatnya.
Harapan: Menumbuhkan Kesadaran Kritis Sejak Dini
Penelitian ini tidak ingin menakut-nakuti kita terhadap teknologi. Sebaliknya, penulis menegaskan bahwa anak-anak perlu diajak mengenali teknologi secara reflektif, bukan hanya memakainya. Sekolah dan keluarga dapat menumbuhkan "sikap keterbukaan" terhadap dunia---bahwa teknologi adalah alat untuk mengerti, bukan pengganti pemahaman itu sendiri.
Heidegger menawarkan jalan keluar: manusia harus belajar "membuka bingkai" (to open the frame). Artinya, kita bisa tetap menggunakan teknologi, tetapi dengan kesadaran bahwa dunia tidak berhenti di layar. Dunia adalah sesuatu yang hidup, yang juga bisa membuat kita kagum, bingung, bahkan takut---dan itu semua bagian dari menjadi manusia.
Anak-anak perlu ruang untuk bertanya tanpa takut salah, waktu untuk bermain tanpa tujuan, dan kesempatan untuk gagal tanpa langsung dinilai. Di sanalah tumbuh kemampuan berpikir reflektif---yang menjadi benteng alami terhadap enframing.
Apa yang Bisa Kita Lakukan sebagai Orang Dewasa
Bagi masyarakat umum, hasil penelitian ini menjadi cermin penting. Kita semua kini hidup dalam dunia enframed: menilai segala hal dari efisiensi dan manfaat. Bahkan anak-anak kita kita arahkan sejak dini agar "produktif" dan "berprestasi," seolah hidup adalah lomba algoritmik.
Padahal, kata Heidegger, yang paling manusiawi justru ketika kita berhenti sejenak dari hiruk-pikuk efisiensi itu. Duduk bersama anak, berbicara tanpa tujuan, berjalan tanpa peta, atau membiarkan anak bertanya tentang hal-hal yang tidak bisa dijawab mesin. Itulah momen di mana kita keluar dari bingkai dan kembali ke kemanusiaan kita sendiri.
***
Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi anak-anak terhadap dunia teknologi adalah cermin masa depan kita sendiri. Mereka tidak hanya belajar dari teknologi, tetapi sedang dibentuk olehnya---cara berpikir, merasakan, dan berimajinasi mereka. Pertanyaannya: apakah kita akan membiarkan mereka melihat dunia hanya sebagai layar, atau membantu mereka menemukan kembali makna di balik cahaya layar itu?
Seperti kata Heidegger, teknologi memang membuka dunia, tetapi juga bisa menutupinya. Tugas kita adalah memastikan anak-anak tumbuh bukan di dalam bingkai, melainkan di dunia yang tetap punya ruang untuk keheningan, keajaiban, dan rasa ingin tahu yang tulus.
Referensi
Reich, V. M., Kemp, P. E., Hamer, J. M., & Copsey-Blake, M. (2025). Children’s Perception of the World of Technology: Through the Lens of Heidegger. Philosophy & Technology, 38(4), 127. https://doi.org/10.1007/s13347-025-00959-5
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI