Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sirene Pejabat dan Sepeda Bambu Latvia: Potret Keadilan dan Mobilitas Kota

20 September 2025   17:20 Diperbarui: 20 September 2025   17:20 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eksperimen sosial di Latvia. (Sumber: designboom.com)

Fenomena serupa juga terjadi di kota-kota besar Asia Tenggara lainnya. Bangkok, misalnya, sudah lama dikenal sebagai salah satu kota dengan kemacetan paling parah di dunia. Pemerintah Thailand membangun BTS Skytrain dan MRT sebagai solusi. Namun pangsa transportasi publik masih relatif kecil dibanding kendaraan pribadi. Di sana, praktik pengawalan pejabat dengan sirene juga sering menuai kritik karena dianggap memperparah ketidakadilan lalu lintas.

Manila tak jauh berbeda. Ibukota Filipina ini kehilangan miliaran dolar setiap tahun akibat macet. Upaya membangun sistem kereta ringan dan BRT terbentur masalah korupsi dan keterlambatan proyek. Di jalanan, pejabat dan keluarga elite politik dikenal menggunakan konvoi bersirene untuk menembus kemacetan, menciptakan jarak sosial yang tajam antara rakyat dan penguasa. Kritik masyarakat pun sama: ruang jalan yang seharusnya milik bersama berubah jadi simbol privilese politik.

Melihat Bangkok dan Manila, kita seolah bercermin. Ternyata masalah bukan hanya teknis soal kapasitas jalan, tapi juga budaya politik dan simbol kekuasaan. Sirene bukan sekadar alat lalu lintas, melainkan lambang stratifikasi sosial di jalan raya.

Dari Privilege ke Equity

Visual sepeda bambu di Latvia bukan sekadar lelucon. Ia adalah kritik terhadap paradigma transportasi yang menempatkan mobil pribadi sebagai raja. Kita bisa belajar bahwa kebijakan mobilitas di kota besar harus berorientasi pada equity, bukan privilege.

Equity artinya memberi prioritas pada moda transportasi yang hemat ruang, hemat energi, dan bermanfaat untuk banyak orang. Transportasi massal, sepeda, dan jalur pejalan kaki harus jadi inti kebijakan. Privilege artinya ruang jalan diserahkan pada segelintir elite, lengkap dengan strobo dan sirenenya.

Pertanyaan provokatifnya: apakah kita mau terus hidup di kota yang ruang jalannya dikuasai oleh "tet-tot" pejabat, atau kota yang ruangnya dibagi adil untuk semua warganya?

Mobilitas sebagai Cermin Peradaban

Cara sebuah bangsa mengatur lalu lintasnya adalah cermin peradabannya. Kota yang sehat bukanlah kota dengan jalan bebas hambatan untuk pejabat, melainkan kota yang mobilitasnya adil, efisien, dan berkelanjutan.

Eksperimen Latvia memberi kita imajinasi. Bayangkan jika di Jakarta para aktivis mengayuh sepeda dengan kerangka mobil di Sudirman atau Thamrin. Visual itu mungkin akan lebih mengena ketimbang seribu seminar transportasi. Begitu pula, bayangkan jika pejabat Indonesia meninggalkan sirene dan sesekali naik MRT. Itu bukan hanya simbol kerendahan hati, melainkan juga pendidikan publik tentang pentingnya berbagi ruang.

Bangkok dan Manila sudah membuktikan bahwa tanpa keberanian politik, sistem transportasi modern pun tidak cukup. Jakarta dan kota besar Indonesia bisa memilih jalan berbeda: bukan sekadar membangun infrastruktur, tapi juga merombak mentalitas, dari budaya privilege menuju budaya kesetaraan di jalan.

Penutup

Sirene pejabat dan sepeda bambu Latvia sama-sama bicara tentang hal yang sama: ruang publik yang direbut. Satu dengan suara keras dan kilatan lampu, satu lagi dengan kerangka bambu yang sunyi tapi telak. Dari keduanya, kita belajar bahwa kota besar Indonesia butuh keberanian untuk merombak paradigma mobilitas---dari privilege menuju keadilan, dari pemborosan menuju efisiensi, dari ego menuju ekologi.

Sebab pada akhirnya, jalan raya bukan milik sirene siapa pun. Jalan adalah milik bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun