Di jalan raya Indonesia, kita sudah terbiasa mendengar "tet-tot" sirene pejabat. Sebuah bunyi yang seolah membuka jalan, memaksa kendaraan lain menepi, dan memberi sinyal bahwa ada seseorang yang lebih penting harus segera lewat. Lampu strobo berkelip, konvoi melaju. Dalam sekejap, ruang jalan yang seharusnya milik bersama berubah menjadi jalur eksklusif. Pertanyaannya: adilkah? Efisienkah? Atau sekadar simbol status yang diwariskan dari masa lalu?
Sementara itu, di Riga, Latvia, sekelompok aktivis pernah melakukan eksperimen yang sederhana tetapi radikal. Mereka bersepeda dengan kerangka bambu berbentuk mobil terpasang di sekelilingnya. Visual itu mengejutkan: satu orang bersepeda tampak seolah membawa mobil pribadi, memakan ruang jalan yang sama besarnya, tetapi tanpa polusi, tanpa bensin, tanpa sirene. Pesannya gamblang---kita sedang memboroskan ruang publik dengan cara paling irasional.
Ruang Jalan dan Ketidakadilan
Indonesia, terutama kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, sudah lama hidup dalam kemacetan kronis. Ruang jalan terbatas, tapi mobil pribadi terus bertambah. Di tengah kondisi itu, sirene pejabat hadir bukan sebagai solusi, melainkan penguat ketidakadilan. Ribuan orang terjebak macet, sementara satu mobil pejabat dilancarkan dengan privilege lampu rotator.
Data terbaru menegaskan skala masalah ini: kemacetan di kawasan Jabodetabek menimbulkan kerugian sekitar Rp 100 triliun per tahun, setara hampir 4 persen PDB regional. Kerugian ini mencakup bensin yang terbuang, biaya operasional kendaraan, hingga produktivitas yang hilang. Rata-rata, seorang pengemudi di Jakarta kehilangan 65 jam per tahun hanya karena terjebak macet.
Eksperimen sepeda bambu Latvia mengajarkan bahwa ruang adalah barang langka. Jika satu mobil hanya membawa satu orang, ia berarti menyita ruang publik yang seharusnya bisa menampung banyak pengguna jalan lain. Sirene pejabat menambahkan lapisan ironi: bukan hanya ruangnya boros, tapi juga dilindungi secara hukum untuk tetap boros.
Paradoks Kebijakan di Indonesia
Pemerintah pusat dan daerah gencar mendorong transportasi publik---MRT, LRT, TransJakarta, integrasi KRL. Namun pangsa transportasi umum di kota besar masih rendah: Jakarta baru sekitar 18 persen, Bandung 20 persen, sementara Surabaya bahkan hanya 5 persen. Artinya, mayoritas warga tetap bergantung pada motor dan mobil pribadi.
Kampanye gaya hidup sehat juga mengajak warga bersepeda. Namun di lapangan, pejabat tetap bergantung pada iring-iringan mobil berstrobo, seakan ada dua dunia paralel: rakyat kecil yang diminta berdesakan di KRL, dan elite yang dibebaskan jalan lewat sirene.
Pembekuan sementara penggunaan strobo dan sirene oleh Korlantas Polri memang langkah maju. Tetapi kita tahu, kata "sementara" dalam politik bisa berubah makna---apakah benar akan dicabut permanen, atau hanya ditunda sampai badai kritik reda?