Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Home Pilihan

Strategi Menghadapi Pertengkaran dengan Tetangga

19 September 2025   14:30 Diperbarui: 19 September 2025   13:22 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bertengkar dengan tetangga. (Gambar dibuat dengan AI)

Hidup bertetangga adalah seni menyeimbangkan jarak dan kedekatan. Kita tidak bisa terlalu jauh, sebab kebutuhan sosial menuntut kebersamaan. Tetapi juga tidak bisa terlalu dekat, karena gesekan kecil mudah meletup menjadi pertengkaran. Dalam konteks itu, pertengkaran dengan tetangga bukan sekadar soal benar atau salah, melainkan ujian kematangan emosional, keterampilan komunikasi, dan strategi sosial.

Mengubah Paradigma: Menang Bukan Tujuan

Kesalahan umum yang sering terjadi adalah menganggap pertengkaran sebagai arena untuk membuktikan siapa yang benar. Padahal, dalam hubungan bertetangga, "menang" sering berarti kita kalah dalam jangka panjang. Tetangga yang merasa dipermalukan atau terpojok bisa menyimpan dendam yang efeknya jauh lebih panjang daripada sekadar satu kali debat. Maka tujuan utama pertengkaran seharusnya adalah mengelola masalah, bukan mengalahkan lawan bicara.

Misalnya, seorang tetangga memarahi kita karena kendaraan parkir dianggap menghalangi jalan. Jika kita membalas dengan membela diri keras-keras, mungkin sesaat kita merasa menang. Tetapi setelah itu, hubungan sehari-hari bisa rusak: saling cuek, saling sindir, bahkan saling lapor ke pihak berwenang. Bandingkan jika kita memilih mengalah, lalu dengan tenang memindahkan kendaraan sambil mengatakan, "Maaf, tadi saya tidak sadar posisi parkir mengganggu." Hasilnya mungkin tetangga tetap sewot, tetapi api padam lebih cepat.

Strategi Komunikasi: Mengelola Nada dan Bahasa Tubuh

Dalam pertengkaran, suara sering lebih berbicara daripada isi kalimat. Nada tinggi bisa menyalakan emosi, sementara nada rendah justru bisa menenangkan. Begitu pula bahasa tubuh: menunjuk-nunjuk atau mendekatkan wajah akan membuat lawan merasa terancam.

Strateginya sederhana: kendalikan nada dan jaga tubuh netral. Misalnya, tangan terbuka, bahu tidak menegang, kepala sedikit condong ke depan tanda mendengar. Dengan cara itu, pesan yang sama bisa terdengar lebih damai. Alih-alih berkata, "Anda selalu begini!" lebih baik mengatakan, "Saya merasa terganggu kalau hal ini sering terulang." Fokus pada perasaan, bukan tuduhan, agar tidak menimbulkan pertahanan otomatis dari tetangga.

Menggunakan Alih Fokus

Sering kali, pertengkaran buntu karena kedua belah pihak sibuk membela diri. Pada titik itu, strategi yang bisa dipakai adalah alih fokus. Caranya dengan menggeser percakapan dari perdebatan menuju solusi.

Contoh: ketika tetangga memprotes suara musik dari rumah kita yang dianggap terlalu keras, jangan buru-buru menimpali dengan "Tetangga lain juga sering berisik." Kalimat itu hanya memperluas konflik. Alihkan dengan pertanyaan, "Menurut Bapak, jam berapa yang paling pas kalau saya putar musik?" Pertanyaan ini mendorong solusi konkret sekaligus membuat tetangga merasa pendapatnya dihargai.

Strategi Mundur: Pura-pura Kalah

Ada kalanya situasi benar-benar terpojok. Tetangga marah besar, logika tak lagi berfungsi, bahkan jumlah mereka lebih banyak. Dalam kondisi begitu, strategi terbaik adalah pura-pura kalah atau playing victim. Bukan dalam arti lemah total, tetapi sebagai cara untuk meredakan situasi.

Misalnya, ketika dituduh melakukan kesalahan yang sebenarnya tidak kita lakukan, kita bisa berkata, "Baiklah, kalau memang saya salah, saya minta maaf." Kalimat ini tidak selalu berarti mengakui kesalahan, tetapi sinyal bahwa kita tidak ingin memperpanjang pertengkaran. Nanti, setelah situasi tenang, barulah kita bisa menjelaskan dengan lebih rasional melalui forum RT atau musyawarah keluarga.

Namun, strategi ini harus digunakan dengan hati-hati. Jika terlalu sering memainkan peran korban, kita bisa dianggap benar-benar lemah dan tidak berdaya. Kuncinya adalah proporsional: gunakan saat terpojok, lalu segera bangun komunikasi sehat setelahnya.

Peran Pihak Ketiga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun