Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kebenaran yang Satu, Perdebatan yang Tak Usai

17 September 2025   05:00 Diperbarui: 17 September 2025   00:10 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kebenaran itu satu, mengapa manusia berdebat tanpa akhir tentang bentuknya? Pertanyaan ini seperti benang kusut yang tidak pernah selesai diurai. Dari forum filsafat di Yunani kuno, majelis ulama di Baghdad, hingga ruang komentar media sosial hari ini, manusia tetap saja bertengkar soal siapa yang paling benar. Seolah-olah kebenaran adalah piala yang hanya boleh dimiliki satu pihak, dan pihak lain harus tersingkir.

Kebenaran bisa diibaratkan seperti matahari. Ia satu, tetapi sinarnya menimpa bumi dengan cara berbeda-beda. Di gunung ia memantul ke bebatuan, di laut ia menari di permukaan ombak, di kota ia terpantul oleh kaca gedung tinggi. Orang di gunung, laut, dan kota sama-sama melihat cahaya yang sama, tetapi bentuk yang mereka lihat tidak sama.

Begitu pula kebenaran. Ia mungkin satu dalam hakikatnya, tetapi manusia menangkapnya dari sudut pandang berbeda. Sudut itu ditentukan oleh latar belakang, pengalaman, kepentingan, bahkan luka batin masing-masing. Maka yang mereka lihat bukan kebenaran mutlak, melainkan pantulan yang terbatas.

Selain itu, kebenaran selalu butuh bahasa untuk disampaikan. Dan di sinilah masalah bermula: bahasa manusia tidak pernah cukup untuk menampung seluruh kebenaran. Kata-kata adalah jaring yang terlalu kasar untuk menangkap ikan yang halus. Saat kebenaran dituang ke dalam bahasa, ia menyusut, berubah, atau bahkan terdistorsi.

Itulah sebabnya, dua orang bisa bermaksud sama tetapi terdengar berbeda, lalu saling menyalahkan. Debat pun tak terhindarkan, bukan karena kebenaran berbeda, melainkan karena bahasa manusia terbatas.

Namun, ada faktor lain yang lebih dalam: ego. Banyak perdebatan bukan tentang mencari kebenaran, melainkan mempertahankan gengsi. Kebenaran sering kali diperlakukan seperti senjata untuk menundukkan lawan, bukan cahaya untuk menerangi jalan. Akibatnya, perdebatan lebih sering berakhir dengan amarah daripada pencerahan.

Sejarah agama penuh dengan contoh ini. Semua pihak yakin membela kebenaran yang sama, tetapi perbedaan tafsir melahirkan perpecahan yang panjang. Begitu pula dalam politik: semua mengaku ingin menyejahterakan rakyat, tetapi beda bentuknya, lalu berujung konflik.

Pertanyaan yang lebih mendalam: jika kebenaran itu satu, apakah manusia benar-benar bisa mengaksesnya? Atau kita hanya bisa mendekatinya tanpa pernah sampai sepenuhnya?

Filsuf-filsuf besar pernah berkata bahwa manusia hanya melihat "bayangan" kebenaran. Plato menyebutnya gua, Kant menyebutnya fenomena, sufi menyebutnya hijab. Dengan kata lain, kebenaran mungkin memang ada, tetapi manusia tidak pernah bisa menelannya bulat-bulat. Yang kita punya hanyalah potongan-potongan. Dan potongan-potongan itulah yang kita perdebatkan seolah-olah keseluruhan.

Apakah itu berarti perdebatan sia-sia? Tidak selalu. Perdebatan bisa menjadi cara untuk mendekatkan diri pada kebenaran, asal dilakukan dengan rendah hati. Seperti orang buta yang meraba gajah: satu memegang belalai, satu memegang kaki, satu memegang ekor. Mereka berdebat tentang bentuk gajah, tetapi melalui perdebatan itu, mereka pelan-pelan menyadari bahwa gajah lebih besar dari sekadar belalai, kaki, atau ekor.

Masalahnya, sering kali kita berhenti pada klaim: "belalai inilah gajah yang sejati." Dan ketika itu terjadi, perdebatan tak lagi mendekatkan, tetapi justru menjauhkan dari kebenaran.

Maka, jika kebenaran itu satu, mengapa manusia berdebat tanpa akhir tentang bentuknya? Karena manusia terbatas, karena bahasa terbatas, dan karena ego terlalu besar. Tetapi justru di situlah seni kehidupan: kita belajar menerima bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang bisa digenggam sendirian.

Mungkin kebenaran memang satu, tetapi jalan menuju kebenaran selalu banyak. Perdebatan bukan untuk membuktikan siapa yang menang, melainkan untuk saling mengingatkan bahwa kita hanya memegang serpihan. Dan mungkin, justru dalam serpihan-serpihan itu, Allah sengaja menyembunyikan pelajaran: bahwa kebenaran bukan untuk diperebutkan, melainkan untuk dirayakan bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun