Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Narasi Darurat Militer: Membaca Polemik Ferry Irwandi dan TNI

14 September 2025   21:19 Diperbarui: 14 September 2025   21:19 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu kata bisa menggetarkan ruang publik, apalagi bila kata itu menyentuh memori politik bangsa. Ketika Ferry Irwandi, seorang konten kreator, melontarkan istilah darurat militer disertai ajakan "ayo kita isi tenaga dulu, jangan sampai negara ini jatuh kepada darurat militer," reaksi keras datang dari TNI. Bagi Ferry, itu peringatan retoris. Bagi TNI, itu ancaman yang berpotensi pidana.

Untuk memahami polemik ini, kita perlu membedahnya dari tiga sisi: bahasa, politik, dan komunikasi massa. Ketiganya memberi kita gambaran mengapa sebuah pernyataan singkat bisa menimbulkan kegaduhan yang seolah lebih besar daripada substansi awalnya.

Bahasa: Ambiguitas yang Menggugah

Dari aspek linguistik, pilihan diksi Ferry sarat makna. Kata "darurat militer" bukan sekadar istilah hukum, melainkan trigger word. Ia mengaktifkan memori kolektif publik pada masa ketika militer memiliki dominasi politik. Kata ini menyiratkan kondisi ekstrem: krisis, kehilangan kendali sipil, bahkan kembalinya otoritarianisme.

Pola kalimat Ferry berbentuk ajakan: "ayo ... jangan sampai ...." Dalam teori speech act, ini termasuk tindak tutur direktif, yaitu ucapan yang mendorong orang lain melakukan sesuatu. Namun yang menarik, objek tindakannya kabur. "Isi tenaga" bisa berarti istirahat, bisa pula bermakna mengumpulkan kekuatan politik. Ambiguitas ini menjadi senjata ganda. Di satu sisi, ia sukar dijerat hukum karena tidak merujuk pada aksi spesifik. Di sisi lain, ia justru efektif dalam komunikasi publik, sebab setiap audiens bisa menafsirkan sesuai keresahan mereka.

Inilah yang disebut ambiguitas strategis. Bahasa tidak lugas, tetapi justru karena itu ia punya daya hidup. Bagi TNI, ambiguitas ini berbahaya karena membuka ruang tafsir bahwa militer tengah bersiap mengambil alih negara. Bagi Ferry, ambiguitas adalah perlindungan sekaligus cara memperluas jangkauan wacana.

Politik: Relasi Sipil-Militer yang Rapuh

Dalam kacamata politik, polemik ini menyentuh saraf lama bangsa: relasi sipil dan militer. Reformasi 1998 menegaskan pemisahan peran TNI dari politik praktis. Namun, bayangan dominasi militer belum sepenuhnya hilang dari ingatan. Kata "darurat militer" seketika menyalakan trauma kolektif itu.

Ucapan Ferry bisa dibaca sebagai upaya membangun oposisi simbolik: sipil versus militer. Ia menegaskan bahwa "masyarakat sipil akan dirugikan bila negara jatuh dalam status darurat militer." Kalimat ini bukan hanya kritik, tetapi juga framing politik. Ia menempatkan sipil di posisi korban potensial, dan militer di posisi ancaman. Dari sini, narasi oposisi terbentuk.

Bagi TNI, narasi semacam ini jelas problematis. Legitimasi institusi pertahanan bergantung pada citra sebagai pelindung rakyat. Bila muncul wacana bahwa TNI justru mengancam sipil, kepercayaan publik bisa terkikis. Karena itu, reaksi keras mereka bisa dipahami, meski terlihat berlebihan.

Namun justru di sini letak ironi politiknya. Reaksi TNI dengan ancaman pidana memperkuat kesan bahwa narasi Ferry ada benarnya: bahwa militer masih sensitif terhadap kritik, dan bahwa relasi sipil-militer masih rapuh. Bukannya meredam, reaksi itu malah memberi panggung lebih luas bagi Ferry.

Komunikasi Massa: Viralitas Kata Panas

Dari sisi komunikasi massa, efek utama pernyataan Ferry bukan pada isi, melainkan pada gaungnya. Kata "darurat militer" adalah click-baitable term. Media dengan mudah menjadikannya judul. Publik dengan cepat menyebarkannya di media sosial. Satu kata berubah jadi trending topic, menciptakan diskursus baru yang lebih besar daripada pernyataan aslinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun