Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demonstrasi dan Jalan Transformasi Sosial

28 Agustus 2025   22:04 Diperbarui: 28 Agustus 2025   22:04 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demonstrasi kembali menjadi denyut kehidupan demokrasi kita. Jalan-jalan besar kota dipenuhi mahasiswa dan rakyat yang menyuarakan aspirasi, menolak kebijakan yang dianggap merugikan, dan mendesak perubahan struktural. Fenomena ini sering dipandang sekadar letupan emosional atau bentuk kegaduhan politik, tetapi jika ditilik dengan kerangka transformasi sosial Kuntowijoyo, demonstrasi justru merupakan bagian penting dari upaya peradaban: menghumanisasi, membebaskan, sekaligus meneguhkan dimensi transendensi.

Dalam pandangan Kuntowijoyo, transformasi sosial bermula dari humanisasi atau amar ma'ruf: mengembalikan manusia pada martabatnya. Demonstrasi lahir ketika manusia merasa diperlakukan sekadar angka dalam kalkulasi politik dan ekonomi. Mahasiswa yang turun ke jalan bukan sekadar menolak pasal atau kebijakan, melainkan menolak dehumanisasi yang membuat rakyat kehilangan ruang untuk didengar.

Humanisasi politik berarti mengingatkan negara bahwa rakyat bukan objek, melainkan subjek. Dalam teriakan lantang mahasiswa, tersimpan pesan sederhana: jangan kurangi kami menjadi sekadar statistik pembangunan, jangan kecilkan suara kami menjadi bisikan di balik gedung parlemen. Demonstrasi adalah peringatan keras bahwa politik tanpa humanisasi akan segera kehilangan legitimasi.

Kuntowijoyo menyebut liberasi atau nahi munkar sebagai pilar transformasi berikutnya. Di sinilah demonstrasi menemukan wataknya yang paling nyata. Jalanan menjadi ruang pembebasan dari struktur penindasan: kebijakan ekonomi yang menjerat, regulasi hukum yang timpang, atau keputusan politik yang hanya melayani elit.

Ketika massa bergerak, mereka sedang merobek tabir normalisasi. Mereka membongkar bahwa ada ketidakadilan yang selama ini ditutupi jargon pembangunan. Demonstrasi bukan sekadar ritual tahunan mahasiswa, melainkan momentum kolektif untuk menyatakan bahwa ada sesuatu yang salah dalam relasi kuasa. Ia adalah pembacaan ulang atas kenyataan, sekaligus perlawanan atas kenyataan itu.

Namun transformasi sosial versi Kuntowijoyo tidak berhenti pada perlawanan. Pilar terakhir adalah transendensi: tu'minuna billah, percaya pada Allah, menjadikan nilai ilahiah sebagai arah. Inilah yang sering terlupakan dalam demonstrasi. Di balik bisingnya pengeras suara dan spanduk yang terbentang, perlu ada kesadaran spiritual bahwa tujuan akhir perlawanan bukan sekadar mengganti rezim, melainkan menegakkan keadilan sebagai nilai suci.

Transendensi memberi batas moral agar demonstrasi tidak berubah menjadi anarki. Ia mengingatkan bahwa perubahan sejati bukan hanya destruktif, tetapi juga konstruktif: membangun tata sosial baru yang lebih adil dan manusiawi. Demonstrasi yang berakar pada transendensi akan melahirkan solidaritas, bukan sekadar kemarahan; melahirkan gagasan alternatif, bukan sekadar penolakan.

Dengan kacamata Kuntowijoyo, demonstrasi dapat dilihat sebagai proses peradaban, bukan sekadar huru-hara politik. Ia adalah laboratorium sosial tempat rakyat belajar berdemokrasi, menguji keberanian moral, dan menegaskan kembali bahwa kekuasaan selalu harus diawasi. Setiap pekikan di jalan adalah bagian dari dialog panjang bangsa ini tentang siapa yang berhak bicara dan ke mana arah kita bersama.

Kritikus boleh berkata demonstrasi tidak efektif, karena tuntutan jarang ditindaklanjuti. Tetapi efektivitas sesungguhnya bukan diukur dari hasil instan, melainkan dari bagaimana demonstrasi memperkuat kesadaran kolektif, membangun imajinasi baru, dan meneguhkan posisi rakyat sebagai guru kekuasaan.

Transformasi sosial yang ditawarkan Kuntowijoyo adalah jalan panjang yang penuh tantangan. Humanisasi, liberasi, dan transendensi adalah tiga kompas yang dapat menjaga demonstrasi agar tidak kehilangan arah. Maka ketika ribuan mahasiswa kembali memenuhi jalan, jangan buru-buru menyebut mereka pengganggu ketertiban. Lihatlah mereka sebagai aktor dalam drama besar transformasi sosial bangsa: mencoba memanusiakan politik, membebaskan dari penindasan, dan mencari arah transendensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun