Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kalau Negara Datang Tanpa Diundang, Apakah Kita Wajib Tunduk?

26 Juni 2025   07:30 Diperbarui: 26 Juni 2025   07:30 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aneksasi. (Images generated by Dall-E)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita terbiasa dengan aturan. Dari lampu merah sampai pajak kendaraan, semua diatur oleh negara. Tapi pernahkah kita bertanya: kenapa kita harus tunduk pada negara? Apa karena negara memberi kita jalan tol, sekolah negeri, dan listrik bersubsidi?

Ada pandangan populer yang bilang: selama negara menjalankan tugasnya---melindungi hak rakyat, menyediakan layanan publik, dan menjaga keamanan---maka kita wajib patuh. Ini disebut fungsionalisme: negara sah asal fungsinya berjalan. Tambahkan sedikit prinsip fair play---karena semua orang ikut menikmati manfaat, maka semua juga punya kewajiban taat aturan. Sekilas, masuk akal.

Tapi bagaimana kalau negara itu datang bukan karena kita memilihnya, tapi karena ia datang tanpa diundang? Misalnya, karena sejarah penaklukan, penjajahan, atau aneksasi sepihak?

Seorang filsuf politik, Arthur Hill (2023), mempertanyakan asumsi fungsionalisme ini. Ia bilang: "Kok bisa, sebuah negara merasa sah hanya karena memberi manfaat, padahal ia masuk ke wilayah orang lain tanpa persetujuan?" Hill menyebut ini sebagai masalah aneksasi. Negara bisa saja efisien dan baik hati, tapi tetap tidak sah jika hadir dengan cara yang salah.

Contohnya begini. Bayangkan ada sebuah negara kuat, sebut saja Meganesia, yang mencaplok provinsi dari negara tetangganya karena alasan keamanan. Mereka membangun jalan, memberi sekolah, bahkan membebaskan pajak selama dua tahun. Warga lokal dapat banyak manfaat. Tapi apakah itu berarti Meganesia sah memerintah wilayah itu?

Jawaban banyak orang: tidak. Karena rakyat di sana tidak pernah diminta pendapatnya.

Hill bilang, otoritas negara tidak bisa sekadar dinilai dari "manfaat" yang diberikan. Yang lebih penting adalah apakah rakyat merasa bagian dari negara itu dan diberi hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Kalau rakyat tidak merasa memiliki, maka sebaik apapun negara bekerja, itu tetap seperti orang asing yang masuk rumah kita lalu mengatur dapur tanpa izin.

Situasi ini tidak asing di Indonesia. Sejarah kita penuh dengan cerita penggabungan wilayah: dari Aceh, Maluku, Papua, sampai Timor Timur yang akhirnya memilih keluar. Pertanyaannya: apakah semua integrasi itu terjadi karena rakyatnya mau? Atau karena "negara datang dengan niat baik"---tapi tanpa undangan?

Kita juga sering mendengar frasa "NKRI harga mati". Tapi harga mati buat siapa? Apakah semua orang merasa diperlakukan adil dan diikutsertakan dalam menentukan masa depan politiknya? Atau hanya jadi penonton di negara sendiri?

Hill mengingatkan, hak menentukan nasib sendiri (self-determination) adalah elemen penting dalam legitimasi politik. Rakyat bukan hanya perlu merasa "dilayani", tapi juga harus merasa berdaulat atas pilihan politik mereka. Kalau negara hanya fokus pada pelayanan tanpa memperhatikan kehendak rakyat, itu seperti bos yang baik tapi tidak pernah merekrut karyawan lewat wawancara.

Kita bisa belajar dari cara negara-negara demokratis menangani isu separatisme. Misalnya Skotlandia yang diberi hak referendum oleh Inggris. Atau Quebec di Kanada. Negara-negara ini tidak merasa runtuh jika rakyatnya diberi pilihan. Karena mereka tahu, kedaulatan sejati bukan dipaksakan, tapi disepakati.

Sebaliknya, bila negara terus menggunakan pendekatan "kami sudah beri manfaat, maka kalian harus tunduk", maka jangan heran kalau ketidakpuasan terus tumbuh. Rakyat bukan sekadar konsumen layanan negara. Mereka adalah pemilik saham, pemilik suara. Mereka berhak memilih siapa yang memerintah mereka, dan dengan cara apa.

Apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, kita perlu mengubah cara berpikir tentang negara. Negara bukan mesin pelayanan. Negara adalah kontrak sosial. Kalau kontraknya tak pernah disepakati secara adil, maka legitimasi negara itu bisa dipertanyakan.

Kedua, kita perlu lebih serius dalam memahami identitas politik lokal. Jangan buru-buru menuduh gerakan otonomi atau aspirasi lokal sebagai separatis. Mungkin itu hanya ekspresi dari hak menentukan nasib sendiri yang selama ini ditekan atau diabaikan.

Ketiga, kita harus mendorong pemerintahan yang bersedia mendengar, bukan sekadar memberi. Kesejahteraan penting, tapi partisipasi lebih penting. Karena tanpa keterlibatan rakyat dalam keputusan politik, negara hanya akan jadi penguasa, bukan perwakilan.

***

Negara yang sah bukanlah negara yang paling kaya, paling efisien, atau paling dermawan. Negara yang sah adalah negara yang datang dengan persetujuan rakyatnya, hidup bersama rakyatnya, dan terus bertanya pada rakyatnya: "Masihkah aku layak memerintah kalian?"

Kalau negara datang tanpa undangan, sebaiknya ia tidak buru-buru duduk di kursi kekuasaan. Karena dalam demokrasi, kekuasaan bukan tentang siapa paling kuat---tapi tentang siapa yang paling didengar.

Kalau tulisan ini menarik, jangan lupa bagikan dan beri komentar. Karena kadang, demokrasi butuh sedikit bising agar tidak dibungkam oleh ketenangan palsu.

Referensi

Hill, A. (2023). Political authority, functionalism, and the problem of annexation. Journal of Political Philosophy, 31(2), 180--203. https://doi.org/10.1111/jopp.12300

Motchoulski, A. (2020). Political authority and the duty of fair play. Journal of Political Philosophy, 28(2), 128--150. https://doi.org/10.1111/jopp.12179

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun