Kita bisa belajar dari cara negara-negara demokratis menangani isu separatisme. Misalnya Skotlandia yang diberi hak referendum oleh Inggris. Atau Quebec di Kanada. Negara-negara ini tidak merasa runtuh jika rakyatnya diberi pilihan. Karena mereka tahu, kedaulatan sejati bukan dipaksakan, tapi disepakati.
Sebaliknya, bila negara terus menggunakan pendekatan "kami sudah beri manfaat, maka kalian harus tunduk", maka jangan heran kalau ketidakpuasan terus tumbuh. Rakyat bukan sekadar konsumen layanan negara. Mereka adalah pemilik saham, pemilik suara. Mereka berhak memilih siapa yang memerintah mereka, dan dengan cara apa.
Apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, kita perlu mengubah cara berpikir tentang negara. Negara bukan mesin pelayanan. Negara adalah kontrak sosial. Kalau kontraknya tak pernah disepakati secara adil, maka legitimasi negara itu bisa dipertanyakan.
Kedua, kita perlu lebih serius dalam memahami identitas politik lokal. Jangan buru-buru menuduh gerakan otonomi atau aspirasi lokal sebagai separatis. Mungkin itu hanya ekspresi dari hak menentukan nasib sendiri yang selama ini ditekan atau diabaikan.
Ketiga, kita harus mendorong pemerintahan yang bersedia mendengar, bukan sekadar memberi. Kesejahteraan penting, tapi partisipasi lebih penting. Karena tanpa keterlibatan rakyat dalam keputusan politik, negara hanya akan jadi penguasa, bukan perwakilan.
***
Negara yang sah bukanlah negara yang paling kaya, paling efisien, atau paling dermawan. Negara yang sah adalah negara yang datang dengan persetujuan rakyatnya, hidup bersama rakyatnya, dan terus bertanya pada rakyatnya: "Masihkah aku layak memerintah kalian?"
Kalau negara datang tanpa undangan, sebaiknya ia tidak buru-buru duduk di kursi kekuasaan. Karena dalam demokrasi, kekuasaan bukan tentang siapa paling kuat---tapi tentang siapa yang paling didengar.
Kalau tulisan ini menarik, jangan lupa bagikan dan beri komentar. Karena kadang, demokrasi butuh sedikit bising agar tidak dibungkam oleh ketenangan palsu.
Referensi
Hill, A. (2023). Political authority, functionalism, and the problem of annexation. Journal of Political Philosophy, 31(2), 180--203. https://doi.org/10.1111/jopp.12300