Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Memahami "Legal Standing" dalam Hukum Indonesia

11 Mei 2025   05:44 Diperbarui: 11 Mei 2025   05:44 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi legal standing. (Images generated by Dall-E)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar berita tentang pihak-pihak yang menggugat kebijakan pemerintah, perusahaan, atau institusi lainnya ke pengadilan. Namun, tak semua orang bisa seenaknya membawa kasus ke meja hijau. Ada satu syarat penting yang sering luput dari perhatian publik, yakni soal "legal standing" atau kedudukan hukum.

Apa itu legal standing? Dalam istilah sederhana, legal standing adalah hak seseorang atau suatu pihak untuk mengajukan gugatan di pengadilan karena ia dianggap memiliki hubungan langsung dan kerugian nyata akibat dari tindakan atau kebijakan yang digugat. Dengan kata lain, seseorang hanya bisa menggugat jika ia benar-benar dirugikan secara langsung dan pribadi. Pengadilan tidak akan memproses gugatan dari orang yang hanya sekadar "peduli" atau merasa terganggu secara umum tanpa mengalami dampak langsung.

Contohnya, bayangkan ada sebuah perusahaan tambang yang membuang limbah ke sungai. Seorang warga yang tinggal dan menggunakan air dari sungai tersebut mengalami penyakit kulit dan kehilangan akses terhadap air bersih. Warga ini jelas memiliki legal standing karena ada kerugian nyata yang ia alami akibat tindakan perusahaan. Ia bisa mengajukan gugatan secara pribadi.

Namun, bagaimana dengan orang lain yang tinggal jauh dari lokasi pencemaran dan hanya mengikuti kasus tersebut dari berita? Meski ia marah dan peduli terhadap kerusakan lingkungan, secara hukum ia tidak memiliki legal standing karena tidak mengalami dampak langsung. Maka jika ia mencoba menggugat, besar kemungkinan pengadilan akan menolaknya sejak awal.

Situasi menjadi sedikit berbeda ketika yang menggugat adalah organisasi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dalam konteks perlindungan lingkungan hidup, misalnya, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan hak kepada organisasi lingkungan untuk menggugat tanpa harus menjadi korban langsung. Syaratnya, organisasi tersebut harus berbadan hukum, memiliki anggaran dasar yang menegaskan bahwa mereka bergerak di bidang lingkungan, dan telah aktif minimal dua tahun. Ini yang disebut sebagai "legal standing istimewa".

Lalu bagaimana dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM)? Misalnya, terjadi tindakan represif oleh aparat keamanan saat demonstrasi menolak kebijakan kenaikan BBM. Beberapa peserta aksi menjadi korban kekerasan, bahkan ada yang terluka parah. Dalam kasus ini, korban langsung tentu memiliki legal standing untuk melapor atau menuntut. Tapi bagaimana dengan aktivis HAM atau LSM yang ingin menuntut keadilan atas peristiwa tersebut?

Secara hukum, aktivis atau LSM tidak bisa menggugat secara pidana karena pidana adalah wilayah negara. Yang bisa menuntut secara pidana adalah jaksa, bukan individu atau kelompok. Namun, mereka tetap bisa berperan dengan melaporkan kasus tersebut ke polisi, Komnas HAM, atau menggugat secara perdata jika ada kerugian akibat kelalaian negara. Mereka juga bisa mendampingi korban sebagai kuasa hukum, atau melakukan advokasi publik untuk menekan agar kasus tersebut diproses secara hukum.

Legal standing juga bisa menjadi persoalan dalam judicial review atau pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, seseorang atau lembaga bisa mengajukan permohonan uji materiil jika ia merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh suatu undang-undang. Mahkamah Konstitusi akan menilai apakah pemohon benar-benar memiliki kedudukan hukum yang sah untuk mengajukan permohonan.

Masalah legal standing seringkali menjadi penghalang awal yang menentukan apakah suatu gugatan dapat diproses atau langsung ditolak. Oleh karena itu, pemahaman mengenai siapa yang berhak menggugat sangat penting, bukan hanya bagi praktisi hukum, tapi juga masyarakat umum. Di era demokrasi dan keterbukaan seperti sekarang, banyak warga ingin berpartisipasi aktif dalam mengawal keadilan. Namun semangat ini harus diimbangi dengan pemahaman yang benar tentang mekanisme hukum.

Legal standing bukanlah sekadar formalitas, melainkan fondasi dari proses hukum yang adil. Ia memastikan bahwa hanya pihak yang benar-benar memiliki kepentingan dan kerugian yang relevan yang bisa membawa perkara ke pengadilan. Ini penting untuk menjaga agar sistem hukum tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang atau hanya ingin mencari sensasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun