Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Saling Cinta atau Saling Hancur?

10 April 2025   08:52 Diperbarui: 10 April 2025   08:52 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Images generated by Dall-E)

Dalam sebuah ilustrasi sederhana namun sarat makna, tergambar sepasang kekasih yang berbaring bersama. Sang wanita memeluk pria dengan penuh kasih, sementara sang pria sibuk bermain ponsel. Beberapa saat kemudian, pria itu bertanya, "Hey, boleh aku bangun?" Namun, sang wanita tetap memeluk tanpa memberi ruang. Adegan terakhir menampilkan situasi yang menyindir: sang pria telah menjadi kerangka, namun si wanita tetap memeluknya erat, tidak menyadari bahwa waktu telah menggerogoti tubuh kekasihnya.

Gambaran ini menyentil potret relasi modern: cinta yang tidak seimbang, posesivitas yang membunuh secara perlahan, dan keengganan untuk memberi ruang bagi yang dicintai. Pria dalam kisah ini digambarkan sebagai sosok yang abai, tenggelam dalam dunia digital hingga lupa menghargai kehadiran pasangannya. Namun saat ia ingin melepaskan diri, ia justru terperangkap dalam pelukan yang tak memberinya kesempatan.

Di sisi lain, sang wanita merepresentasikan bentuk cinta yang posesif. Ia memeluk dengan intensitas tanpa henti, bahkan ketika yang dipeluk telah berubah menjadi kerangka. Ini adalah metafora yang pahit tentang cinta yang gagal berkembang karena tak ada ruang untuk bernapas.

Kita sering kali menyamakan cinta dengan kedekatan fisik yang konstan. Padahal, cinta yang sehat memberi ruang bagi dua insan untuk tumbuh bersama, bukan saling mengikat. Pelukan bisa menjadi hangat, namun bila terlalu erat dan lama, ia berubah menjadi beban yang menyesakkan.

Gambaran ini juga menyoroti rutinitas dan kebiasaan yang sering kali tidak kita pertanyakan dalam hubungan. Sang wanita terus memeluk tanpa menyadari bahwa pasangan yang ia peluk telah berubah. Begitu pula dalam kehidupan nyata: banyak pasangan yang bertahan dalam hubungan yang secara fisik masih bersama, namun emosionalnya telah lama mati. Mereka tetap bersama karena takut, karena kebiasaan, atau karena tidak tahu bagaimana cara melepaskan.

Ilustrasi ini mengajarkan bahwa cinta bukan hanya tentang memberi dan menerima, tapi juga tentang menyadari. Menyadari kapan mendekat dan kapan memberi ruang. Menyadari kapan harus memeluk dan kapan melepaskan. Bahwa cinta tanpa kesadaran dan keseimbangan justru menjadi beban yang saling menyiksa.

Di era digital, kehadiran fisik sering kali dikalahkan oleh kehadiran virtual. Kita lebih sering menatap layar daripada mata pasangan kita. Dan tanpa sadar, kita bisa menjadi seperti pria dalam gambar---mengabaikan hingga terlambat, atau seperti wanita itu---terus memeluk sesuatu yang sejatinya sudah tiada.

Gambaran ini adalah cermin. Apakah kita sedang memeluk seseorang yang diam-diam telah menjadi kerangka? Atau justru kita yang telah menjadi kerangka karena tidak diberi ruang untuk hidup? Cinta seharusnya menghidupkan. Ia butuh ruang, waktu, dan kesadaran. Karena jika tidak, kita hanya akan menjadi kisah yang tragis: satu memeluk, satu perlahan menghilang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun