Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Masak Besar" dan Kurang Kreativitas: Membandingkan Kreator Konten Lokal dan Luar Negeri

26 Maret 2025   21:14 Diperbarui: 27 Maret 2025   01:15 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar masak besar (Sumber: Kanal Youtuber Grandpa Kitchen)

Fenomena "masak besar" bukanlah hal eksklusif Indonesia. Di berbagai belahan dunia, memasak dalam jumlah besar telah menjadi tontonan digital yang digemari. Namun, ketika kita menelaah lebih jauh, ada jurang besar antara bagaimana tren ini dieksekusi di luar negeri dan di Indonesia. Di satu sisi, ada konten yang menyuguhkan nilai estetika, edukasi, dan kepekaan sosial. Di sisi lain, ada konten yang lahir dari hasrat viral dan sensasi semata, bahkan cenderung membodohi publik. Ini bukan sekadar perbedaan gaya---ini soal arah berpikir, tanggung jawab, dan kesadaran sosial dari para kreator.

Mari kita bandingkan dua ekstrem: Grandpa Kitchen dari India dan fenomena Masak Besar yang menjamur di Indonesia. Grandpa Kitchen menyajikan masakan dalam jumlah besar, namun bukan semata-mata untuk konten. Ia memasak untuk anak-anak yatim, masyarakat miskin, dan kaum terlantar. Videonya tenang, penuh kasih, dan---yang paling penting---menyampaikan pesan moral yang kuat: memasak adalah bentuk cinta. Kreativitas hadir dalam bentuk teknik memasak tradisional yang dikemas dengan narasi humanis. Masyarakat diajak berpikir, merasakan, dan belajar.

Sementara itu, mari tengok konten "Masak Besar" lokal. Mulai dari rendang di dalam bak mandi, kolak dalam ember cat, hingga nasi goreng dalam sekop semen---semuanya diproduksi dengan tujuan utama: viralitas. Di sini, tak ada edukasi, tak ada kepekaan sosial, hanya absurditas. Bahkan ketika ada dalih "dibagikan ke warga", seringkali hal itu dilakukan sekadar sebagai penutup dramatis---bukan niat utama. Yang ditonjolkan bukan nilai gizi, bukan teknik, bukan kearifan lokal---melainkan kuantitas dan kekacauan. Ironisnya, justru konten seperti ini yang paling mudah menembus trending.

Tangkapan layar: proses memasak diperlihatkan. (Sumber: Kanal Youtube Grandpa Kitchen)
Tangkapan layar: proses memasak diperlihatkan. (Sumber: Kanal Youtube Grandpa Kitchen)

Kita juga bisa menengok contoh dari Kanada: Epic Meal Time. Meski kontennya ekstrem, dengan menu-menu super berkalori dan penuh daging, mereka tidak mengklaim sebagai konten edukatif. Mereka sadar bahwa mereka adalah hiburan. Tapi di balik itu, mereka tetap menjaga standar produksi yang tinggi, editing yang presisi, dan---yang penting---narasi yang jujur. Bandingkan dengan banyak konten "masak besar" di Indonesia yang sering dibungkus dengan kepalsuan: pura-pura dermawan, pura-pura memasak untuk warga, padahal intinya adalah monetisasi tontonan absurd.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak pada masyarakat. Konten masak besar di Indonesia sering menampilkan logika "semakin besar semakin bagus", tanpa memperhatikan prinsip dasar memasak: kebersihan, nutrisi, teknik, dan budaya. Anak-anak muda yang menonton tidak mendapat pelajaran memasak yang benar. Mereka tidak belajar tentang teknik mengolah bahan makanan, tidak diajarkan tentang cita rasa, bahkan tidak diperkenalkan pada nilai-nilai kuliner lokal yang sesungguhnya kaya dan beragam.

Bahkan dari sisi visual, perbedaannya mencolok. Li Ziqi, konten kreator asal Tiongkok, mampu menyajikan masakan dalam porsi besar namun dengan kualitas sinematografi kelas dunia. Setiap gerakan direkam dengan detail, setiap suara alam menjadi latar alami yang menenangkan. Ia tidak hanya memasak, tapi mengajarkan filosofi hidup, penghormatan terhadap alam, dan kemandirian. Sementara itu, konten "masak besar" kita masih berkutat pada adonan diblender dengan bor, sambal diaduk pakai cangkul, atau bihun dibakar di atas drum bekas. Tak ada estetika, tak ada konteks, tak ada nilai.

Apakah semua konten masak besar Indonesia demikian? Tentu tidak. Ada beberapa kreator yang mencoba menyajikan konten yang lebih mendidik---seperti memperkenalkan masakan tradisional atau memperlihatkan teknik memasak autentik dalam skala besar. Namun mereka tenggelam dalam banjir konten yang lebih sensasional. Dan sayangnya, algoritma pun berpihak pada yang bodoh tapi viral, bukan yang cerdas tapi mendidik.

Penting untuk dicatat: kritik ini bukan tentang merendahkan upaya kreator lokal. Justru ini panggilan untuk menaikkan standar. Indonesia punya kekayaan kuliner luar biasa---dari Aceh hingga Papua. Teknik memasak tradisional seperti pepes, rendang, seruit, woku, hingga papeda bisa dieksplorasi dalam skala besar tanpa harus mengorbankan akal sehat. Kita bisa masak besar dengan nilai, bukan hanya demi clickbait.

Kreator konten Indonesia harus mulai bertanya pada diri sendiri: apakah kita hanya ingin ditonton, atau ingin membentuk persepsi? Apakah kita hanya mengejar adsense, atau ingin menanamkan nilai? Dan untuk penonton---sudah waktunya kita berhenti memberi panggung pada tontonan yang menghinakan akal sehat. Mari pilih konten yang memperkaya pikiran, bukan yang memperkeruh logika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun