Di tengah perkembangan teknologi yang cepat dan persaingan yang ketat, kaum muda terutama generasi Z menghadapi tekanan yang sangat besar untuk selalu terlihat produktif, berkembang, dan sukses. Budaya kerja tanpa henti atau hustle telah menjadi ukuran keberhasilan baru yang banyak disorot, baik di lingkungan kerja maupun di media sosial. Namun, bersamaan dengan pemujaan terhadap kerja keras ini, muncul kenyataan yang menyedihkan yaitu banyak anak muda mengalami kelelahan dalam aspek fisik, mental, dan emosional.Fenomena ini dikenal sebagai "generasi capek". Mereka dibesarkan dalam situasi dengan tuntutan yang tinggi dari keluarga, pendidikan, dan dunia digital. Media sosial menampilkan kesuksesan orang lain secara instan seperti teman yang meraih gelar S2, berhasil membuat bisnis di usia muda, hingga mereka yang memiliki gaya hidup mewah. Semua ini menimbulkan rasa kurang bersyukur, perasaan tertinggal, dan merasa tidak berharga jika tidak melakukan hal-hal besar.
Berdasarkan laporan dari American Psychological Association (APA), generasi Z memiliki tingkat stres tertinggi dibandingkan generasi sebelum mereka. Penyebabnya bukan hanya karena tekanan akademis atau pekerjaan, tetapi juga kecemasan mengenai masa depan, ketidakpastian ekonomi, serta krisis global seperti perubahan iklim dan konflik sosial. Situasi ini semakin memburuk karena budaya hustle yang menganggap istirahat sebagai tanda kemalasan, bukannya kebutuhan manusia yang wajar.
Padahal, jika kita menggali lebih dalam, budaya kerja keras sebenarnya muncul dari sistem ekonomi yang mengutamakan efisiensi tanpa memperhatikan keseimbangan dalam hidup. Ungkapan seperti "kerja terus-menerus" atau "tidur itu untuk orang lemah" menjadi slogan yang berpotensi berbahaya. Banyak anak muda yang terpaksa bekerja di luar jam kerja biasa untuk menunjukkan komitmen dan usaha mereka, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental dan fisik mereka.
Namun, sekarang mulai terjadi perubahan yang signifikan. Generasi Z dikenal sebagai generasi yang berani bersuara dan menyadari pentingnya kesehatan mental. Banyak di antara mereka yang mulai menolak pengagungan budaya kerja keras dan memilih untuk menjalani hidup dengan cara yang lebih seimbang. Muncul berbagai gerakan seperti "quite quitting", "mental health day", dan kampanye self-care yang memperjuangkan hak untuk istirahat dan bekerja dengan cara yang lebih sehat.
Salah satu contohnya adalah sejumlah komunitas di Instagram dan TikTok yang mengedukasi mengenai pentingnya slow living, work-life balance dan kehidupan, serta kebebasan finansial yang tidak harus dicapai dengan mengorbankan diri. Beberapa perusahaan juga mulai menerapkan kebijakan yang lebih fleksibel, seperti kerja dari rumah dan hari libur tambahan, demi menciptakan tempat kerja yang lebih ramah bagi manusia.
Perubahan pemikiran ini membuka pembicaraan yang krusial: apakah kita perlu terus-menerus mengejar produktivitas untuk mendapatkan pengakuan sosial, atau saatnya kita untuk mendefinisikan ulang apa itu sukses dan bahagia sesuai pandangan kita sendiri?
Bekerja keras itu wajar, tetapi jangan sampai kita kehilangan arah dan identitas kita. Sebab, terlepas dari itu semua, istirahat juga merupakan bagian dari produktivitas. Menghargai tubuh dan pikiran kita sendiri adalah bentuk kesuksesan yang paling sejati.
Ayo, mari kita merubah arti sukses dengan cara yang lebih sehat, lebih manusiawi, dan lebih berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI