Mohon tunggu...
Syaefunnur Maszah
Syaefunnur Maszah Mohon Tunggu... Senior Human Capital Strategist, Sekjen Parsindo, Wakil Ketua Peradi DPC

Concern pada masalah sosial kebangsaan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Masihkah Berfilsafat Relevan di Era Kontemporer?

19 Juli 2025   09:04 Diperbarui: 19 Juli 2025   09:04 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Filosof Socrates (470 SM) / Dok. Pribadi

Filsafat telah menjadi pilar utama dalam pembentukan peradaban manusia sejak masa klasik hingga kontemporer. Dalam dunia modern yang kompleks dan terdisrupsi oleh teknologi, globalisasi, serta krisis identitas, pemikiran filosofis kembali mendapat tempat sebagai sarana refleksi kritis atas arah kehidupan umat manusia. Sejumlah mazhab filsafat kontemporer memberi kontribusi besar dalam membentuk cara pandang terhadap sains, etika, politik, bahkan spiritualitas.

Salah satu aliran dominan yang memengaruhi struktur berpikir modern adalah rasionalisme kritis, yang dikembangkan oleh Karl Popper. Melalui konsep falsifikasionisme, Popper menolak absolutisme kebenaran dan menekankan bahwa ilmu harus terbuka terhadap pengujian ulang dan koreksi. Konsep ini tidak hanya melandasi metodologi ilmiah modern, tetapi juga memperkuat semangat demokrasi dan keterbukaan dalam masyarakat kontemporer. Rasionalisme kritis mendorong kemajuan dengan menempatkan kesalahan sebagai bagian dari proses menuju kebenaran yang lebih baik.

Berbeda namun saling melengkapi, eksistensialisme yang diperkenalkan oleh Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre berfokus pada subjektivitas manusia, kesadaran eksistensial, dan kebebasan bertindak. Dalam era yang sarat dengan birokrasi, algoritma, dan determinasi teknologi, eksistensialisme menegaskan kembali nilai individu sebagai makhluk bebas yang bertanggung jawab atas makna hidupnya. Filsafat ini memberikan kerangka etis yang penting bagi bidang psikologi humanistik, pendidikan, dan hak asasi manusia.

Di antara dinamika filsafat modern, filsafat Islam menunjukkan daya hidupnya yang luar biasa. Ia tidak hanya relevan bagi umat Muslim yang berjumlah sekitar dua miliar di dunia, tetapi juga mengandung nilai-nilai universal yang diakui para pemikir lintas agama dan budaya. Filsuf besar seperti Al-Farabi, yang dikenal sebagai Mu'allim al-Thani (Guru Kedua) setelah Aristoteles, telah merumuskan teori negara utama berbasis pada akal, keutamaan moral, dan wahyu dalam karyanya Al-Madinah al-Fadhilah. Ia mengintegrasikan metafisika Yunani dengan etika Qur'ani dalam sintesis yang menggugah.

Pemikiran Al-Farabi ini mendapat penguatan dari tokoh filsafat Islam kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr, yang mengkritik krisis spiritual modern akibat sekularisasi pengetahuan dan menyerukan kembalinya "hikmah perennial" sebagai dasar keilmuan dan kebudayaan. Dalam pandangan Nasr, filsafat Islam mengajarkan keseimbangan antara akal dan spiritualitas, antara tanggung jawab duniawi dan kesadaran transenden, yang sangat diperlukan oleh dunia yang kian terjebak dalam reduksi materialistik.

Kontribusi filsafat Islam tidak hanya terletak pada bangunan teologisnya, tetapi juga dalam struktur etika, epistemologi, dan praksis sosial. Konsep tawhid (keesaan Tuhan), misalnya, melahirkan pandangan kosmologis yang menyatukan seluruh aspek kehidupan dalam keterhubungan yang harmonis. Dari sini lahir prinsip-prinsip keadilan sosial, ilmu sebagai amanah, serta adab sebagai landasan peradaban. Warisan ini menjadi landasan banyak institusi pendidikan Islam yang kini tersebar di seluruh dunia.

Dalam peradaban yang serba cepat namun kerap kehilangan arah, manusia sejatinya membutuhkan filsafat kehidupan --- sebuah orientasi eksistensial yang tidak hanya menjelaskan, tetapi juga membimbing. Di sinilah pentingnya pendekatan filsafat yang utuh: tidak hanya rasional, tetapi juga etis dan spiritual. Filsafat semacam ini tidak menjauh dari kehidupan, justru mengakar di dalamnya --- menjadi kompas dalam menghadapi tantangan zaman.

Filsuf kontemporer Alasdair MacIntyre dalam After Virtue menyatakan bahwa krisis moral modern disebabkan oleh terputusnya tradisi etis dan hilangnya bahasa keutamaan (virtue). Ia menyerukan perlunya revitalisasi nilai-nilai moral yang berakar pada komunitas dan kontinuitas tradisi. Pandangan ini bersinggungan dengan gagasan Islam tentang akhlaq sebagai fondasi kemanusiaan yang luhur dan kolektif. Dengan demikian, filsafat Islam dapat berperan aktif dalam membangun tatanan moral publik yang berkeadilan.

Kecenderungan para filsuf Barat kontemporer untuk menggali kembali filsafat Islam, seperti dilakukan oleh William Chittick dan Oliver Leaman, memperlihatkan bahwa khazanah pemikiran Islam masih relevan untuk menjawab krisis spiritual dan moral dunia. Mereka mengapresiasi sumbangan pemikir seperti Ibn Arabi dan Ibn Sina dalam hal metafisika, epistemologi, serta kesadaran spiritual yang menyatu dengan kosmologi dan kehidupan etis.

Filsafat tidak boleh dimaknai hanya sebagai diskursus elit akademik, tetapi harus hadir dalam praksis keseharian: dalam pendidikan, kebijakan publik, media, dan ruang keluarga. Ia menjadi alat untuk berpikir jernih dan hidup bijak. Dalam hal ini, filsafat Islam menawarkan satu kekayaan: sintesis antara pengetahuan dan kebajikan, antara iman dan akal, antara dunia dan akhirat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun