Di tengah gempuran serangan udara Israel yang mengguncang Ibu Kota Tehran, rakyat Iran menunjukkan keteguhan dan keberanian yang mencengangkan dunia. Tidak hanya militer yang siaga, tetapi juga pemimpin-pemimpin sipil dan tokoh agama ikut turun ke jalan sebagai simbol perlawanan. Salah satu momen paling mencolok terjadi ketika cicit pendiri Republik Islam Iran, Seyyed Ahmad Khomeini, berdiri di balkon rumahnya di Tehran pada malam serangan, menyatakan tekad untuk tidak meninggalkan tanah air. Dalam artikel dari The New York Times berjudul "Great-Grandson of Islamic Republic's Founder Was in Streets as Israel Fired on Tehran" yang ditulis oleh Farnaz Fassihi, dipublikasikan pada 18 Juni 2025, Ahmad Khomeini mengatakan, "Kami akan tetap tinggal di Tehran, bahkan jika kami harus mengorbankan setiap tetes darah kami."
Pernyataan tersebut bukan sekadar simbol retoris, melainkan mencerminkan mental kolektif masyarakat Iran yang sejak Revolusi 1979 telah terbentuk dalam narasi perjuangan dan kedaulatan. Dalam perspektif Iran, perang melawan Israel bukan hanya konflik militer, melainkan kelanjutan dari konfrontasi ideologis, politik, dan historis yang sudah berlangsung selama lebih dari empat dekade. Serangan-serangan Israel saat ini dianggap sebagai bentuk arogansi regional dan pelanggaran kedaulatan nasional yang harus dilawan dengan kesatuan seluruh elemen bangsa.
Soliditas antara rakyat dan elite pemerintahan Iran tampak menguat, terlebih ketika sosok seperti Ahmad Khomeini---yang mewarisi nama besar Revolusi Islam---muncul di tengah publik. Ini menjadi penanda bahwa perjuangan bukan hanya ditanggung oleh militer atau Garda Revolusi, tetapi juga oleh generasi muda dan kelas pemimpin spiritual yang berakar pada warisan revolusioner. Dalam konteks ini, teori Social Identity dari Henri Tajfel relevan untuk menjelaskan bagaimana identitas kolektif terbentuk dan memperkuat kohesi sosial saat menghadapi ancaman eksternal.
Secara strategis, Iran juga memetik keuntungan dari meningkatnya dukungan diplomatik dan logistik dari kekuatan besar seperti Rusia dan Tiongkok. Rusia, melalui saluran-saluran intelijen dan pertahanan udara, telah meningkatkan kolaborasi teknologinya dengan Iran, sementara Tiongkok melanjutkan bantuan ekonomi dan tekanan diplomatik terhadap AS di Dewan Keamanan PBB. Kedua negara ini melihat Iran sebagai sekutu penting dalam membentuk tatanan dunia multipolar yang berlawanan dengan dominasi Barat.
Di sisi diplomasi, Iran menunjukkan kepiawaian dalam memainkan peran sebagai "jembatan perlawanan" antara dunia Islam dan poros Timur. Negara ini aktif menjalin komunikasi dengan blok negara-negara non-Barat, termasuk BRICS, Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), serta memperkuat hubungan dengan negara-negara Arab yang mulai mengambil sikap lebih independen dari tekanan Israel dan Amerika. Iran tidak sepenuhnya terisolasi, tetapi justru memposisikan diri sebagai poros alternatif dalam geopolitik global.
Pasca-pertemuan G7 yang digelar awal Juni lalu, respons AS dan Israel terhadap Iran tampak mulai berhati-hati. Dalam laporan pasca-summit, beberapa analis Barat menyatakan keprihatinan atas risiko perang besar-besaran yang dapat mengganggu stabilitas global dan ekonomi energi dunia. Pihak Gedung Putih, meskipun tetap menyatakan dukungan pada Israel, mengindikasikan kehati-hatian dalam mendorong konflik terbuka lebih lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa Iran tidak sendirian menghadapi tekanan, melainkan justru memperluas daya tawar melalui kekuatan resistensi nasional dan diplomasi multilateral.
Sikap Israel sendiri menunjukkan kekhawatiran akan kapasitas perlawanan Iran yang meningkat. Beberapa serangan udara Israel gagal total karena berhasil dicegat oleh sistem pertahanan Iran, termasuk drone dan rudal balistik yang selama ini menjadi andalan. Kemampuan Iran menahan gempuran tersebut menambah legitimasi rezim di mata rakyatnya dan menurunkan moral politik internal Israel yang mulai terpecah dalam isu strategis.
Dalam jangka menengah, kondisi ini justru membuka peluang besar bagi Iran untuk memperkuat posisi regionalnya. Dukungan rakyat, keteguhan pemimpin, serta bantuan strategis dari sekutu internasional menjadi fondasi penting bagi Iran untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga memperluas pengaruhnya di Timur Tengah dan forum global. Iran pun dapat menjadikan krisis ini sebagai ajang konsolidasi kekuatan nasional dan penguatan reputasi sebagai negara yang mampu bertahan melawan tekanan hegemonik.
Optimisme tumbuh dari fakta bahwa rakyat Iran tidak gentar. Mereka melihat krisis ini sebagai ujian sejarah yang pernah mereka hadapi sebelumnya dalam Perang Iran-Irak (1980--1988). Kini, dengan teknologi yang lebih maju, dukungan internasional yang lebih kuat, dan legitimasi moral yang terus dibangun, Iran punya potensi untuk membalik tekanan menjadi peluang. Seperti yang dikatakan Ahmad Khomeini dalam artikel The New York Times, "Musuh telah membuat kesalahan besar jika mengira bisa menggoyahkan revolusi ini."
Dengan semangat kolektif dan jaringan solidaritas global yang terus bertumbuh, masa depan Iran bukan hanya ditentukan oleh perang yang sedang berlangsung, tetapi juga oleh kemampuan bangsa ini membangun kedaulatan melalui persatuan, ketangguhan, dan diplomasi cerdas.