Sejak sekolah menengah atas (SMA, istilah tahun 1980-1990an untuk menyebut jenjang pendidikan setelah sekolah menengah pertama), saya gemar mengkoleksi buku. Kala liburan, hobi saya boleh dibilang nerdy dan geeky (cupu mungkin kalau bahasa sekarang), yaitu pergi ke toko buku seperti Gramedia atau Gunung Agung. Kalau ingin mencari buku impor, saya mendatangi toko buku Maruzen, Rubino, atau Kinokuniya yang terletak di sejumlah mal di ibukota.
Awalnya saya sekadar mengkoleksi komik seperti manga terbitan Elex Media maupun komik impor superhero dari Amerika (penerbit DC, Marvel, dan Image) atau novel remaja ringan seperti Lima Sekawan karya Enid Blyton atau Trio Detektif.
Namun, seiring memasuki kuliah ganda di fakultas sastra dan sosial politik, minat saya bergeser ke bacaan yang lebih berat, terutama sosiologi, politik, sastra, dan filsafat. Apalagi lingkungan sekitar kampus menciptakan ekosistem lapak buku bekas yang mendukung perburuan koleksi literatur yang bukan arus utama.Â
Bahkan sesudah lulus, kebiasaan saya menulis kolom di media massa mengharuskan koleksi bacaan berkembang lebih luas. Rak buku yang tadinya hanya satu bertambah terus menjadi rak-rak buku dengan koleksi mencapai beribu-ribu, itu jika dihitung dengan jurnal, prosiding, dan majalah.
Memang, tidak semua koleksi itu saya baca secara tuntas. Saya tipe pembaca acak yang mudah bosan. Jadi belum selesai dengan satu buku, saya sudah beralih ke buku lain, dan begitu seterusnya. Kadang saya hanya mencari kutipan inspiratif untuk tulisan ilmiah atau kolom media massa, sesudah itu deretan pustaka itu melipir, menunggu momen entah kapan lagi disapa di dalam perpustakaan pribadi saya.
Menitip jiwa ke Kompasiana
Seiring waktu, ribuan pustaka itu laksana dijual sayang, disimpan juga akan terbuang dalam waktu (meminjam lagu viral Barasuara), entah karena rusak dimakan rayap atau karena isinya yang tidak lagi aktual.Â
Sempat kepikiran untuk membuat resensi kritis untuk setiap buku. Masalahnya, tidak banyak media massa yang memberikan rubrik untuk resensi buku. Bahkan di zaman digital, semakin sedikit ruang untuk itu.
Memang sekarang ada media sosial. Namun karakter instan yang inheren secara filosofis dalam media semacam itu menyebabkan saya merasa itu ruang yang kurang pas.Â
Menulis di blog tadinya merupakan pilihan tapi saya orang yang terlalu malas untuk merawat ataupun mempromosikan agresif blog. Opsi ini pun masuk jauh-jauh ke dalam laci pikiran.
Akan tetapi, di dalam perpustakaan pribadi yang padat itu, jiwa-jiwa pustaka yang rindu disapa wacana di dalamnya seakan tetap meronta-ronta ingin merdeka di alam terbuka horison pemikiran manusia yang berbeda. Bagaimana solusinya untuk menghidupi perpustakaan ini?
Tibalah perkenalan saya dengan Kompasiana pada awal tahun 2025 ini. Perkenalan yang mungkin telat, bahkan terjadi di momen yang banyak disitir orang sebagai senjakala Kompasiana.Â
Namun, kemudahan mengunggah konten di Kompasiana plus komunitas penulis maupun pembaca yang sudah mapan (established) membuat saya merasa blog warga anak usaha Kompas Gramedia Group ini tepat sebagai kanalisasi bagi arus deras jiwa para pustaka saya yang selama ini lebih sering terbendung hanya di dalam rak-rak buku sunyi.
Keputusan ini juga mendorong saya pribadi mengalami arus balik ke membaca pustaka cetak, menekuninya secara teliti, mereguk saripati, dan melepaskan jiwa para pustaka itu dari penjara kesendirian mereka entah lewat resensi atau lewat penggunaan konsep di dalam buku-buku itu ke dalam permasalahan yang ada dalam tulisan.
Entah bagaimana, saya langsung merasakan kembali sensasi pembebasan seperti yang sering diungkapkan trainer membaca dan menulis almarhum Hernowo dari penerbit Mizan (Andai Buku Itu Sepotong Pizza, Mizan, 2003). Hernowo sendiri mengutip istilah menulis itu membebaskan dari psikolog James Pennebakker.Â
Membaca buku cetak seperti bertemu lagi dengan kawan lama, bertukar kabar mengingat daya tafsir dan tangkap saya sebagai pembaca telah berubah seiring usia, dan mengekspresikan ulang pengalaman reuni itu dalam tulisan yang mengabadikan dan menjadi wahana penitipan bagi pengalaman bersama kedua jiwa kami.
Tanpa terasa, dengan jumlah tulisan yang sudah mencapai ratusan, sudah ratusan pula jumlah pustaka yang telah terbebas jiwanya ke alam lepas panorama pemikiran dunia manusia. Jiwa para pustaka itu bagaikan terbang bebas menuju tempat penitipan mereka yang nyaman dan menyenangkan, tempat mereka disapa, dibaca, didebat dirawat dan sukur-sukur memberikan manfaat. Dan, tempat itu dengan segala kekurangan yang ada, bernama Kompasiana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI