Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Kompasiana, Wahana Ribuan Pustaka Saya Menitipkan Jiwa Mereka

14 September 2025   10:22 Diperbarui: 17 September 2025   06:13 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak sekolah menengah atas (SMA, istilah tahun 1980-1990an untuk menyebut jenjang pendidikan setelah sekolah menengah pertama), saya gemar mengkoleksi buku. Kala liburan, hobi saya boleh dibilang nerdy dan geeky (cupu mungkin kalau bahasa sekarang), yaitu pergi ke toko buku seperti Gramedia atau Gunung Agung. Kalau ingin mencari buku impor, saya mendatangi toko buku Maruzen, Rubino, atau Kinokuniya yang terletak di sejumlah mal di ibukota.

Awalnya saya sekadar mengkoleksi komik seperti manga terbitan Elex Media maupun komik impor superhero dari Amerika (penerbit DC, Marvel, dan Image) atau novel remaja ringan seperti Lima Sekawan karya Enid Blyton atau Trio Detektif.

Namun, seiring memasuki kuliah ganda di fakultas sastra dan sosial politik, minat saya bergeser ke bacaan yang lebih berat, terutama sosiologi, politik, sastra, dan filsafat. Apalagi lingkungan sekitar kampus menciptakan ekosistem lapak buku bekas yang mendukung perburuan koleksi literatur yang bukan arus utama. 

Bahkan sesudah lulus, kebiasaan saya menulis kolom di media massa mengharuskan koleksi bacaan berkembang lebih luas. Rak buku yang tadinya hanya satu bertambah terus menjadi rak-rak buku dengan koleksi mencapai beribu-ribu, itu jika dihitung dengan jurnal, prosiding, dan majalah.

Memang, tidak semua koleksi itu saya baca secara tuntas. Saya tipe pembaca acak yang mudah bosan. Jadi belum selesai dengan satu buku, saya sudah beralih ke buku lain, dan begitu seterusnya. Kadang saya hanya mencari kutipan inspiratif untuk tulisan ilmiah atau kolom media massa, sesudah itu deretan pustaka itu melipir, menunggu momen entah kapan lagi disapa di dalam perpustakaan pribadi saya.

Menitip jiwa ke Kompasiana

Seiring waktu, ribuan pustaka itu laksana dijual sayang, disimpan juga akan terbuang dalam waktu (meminjam lagu viral Barasuara), entah karena rusak dimakan rayap atau karena isinya yang tidak lagi aktual. 

Sempat kepikiran untuk membuat resensi kritis untuk setiap buku. Masalahnya, tidak banyak media massa yang memberikan rubrik untuk resensi buku. Bahkan di zaman digital, semakin sedikit ruang untuk itu.

Memang sekarang ada media sosial. Namun karakter instan yang inheren secara filosofis dalam media semacam itu menyebabkan saya merasa itu ruang yang kurang pas. 

Menulis di blog tadinya merupakan pilihan tapi saya orang yang terlalu malas untuk merawat ataupun mempromosikan agresif blog. Opsi ini pun masuk jauh-jauh ke dalam laci pikiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun