Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Spirit Buddhisme dan Etika Kepedulian

18 Juli 2025   12:39 Diperbarui: 18 Juli 2025   12:42 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Konflik antar agama adalah salah satu masalah purba manusia di dunia. Sayangnya, seiring kian rasional dan modernnya umat manusia secara global, tetap saja bertahan naluri berseteru yang primal dan tribal. Bahkan, konflik menjadi lebih rumit karena berjalin berkelindan dengan faktor-faktor lain seperti ekonomi politik. 

Invasi Amerika Serikat era George Bush Jr. ke Afghanistan dan Irak pasca tragedi 11 September, misalnya, membawa istilah agama "crusade" seakan merupakan perang suci. Padahal motif serangan juga berhimpitan dengan motif geopolitik mempertahankan wibawa hegemonik AS sekaligus motif ekonomi mendapatkan lahan minyak baru.

Demikian juga konflik Israel/AS dan Palestina/Iran seakan semata konflik bermotif doktrinal, padahal ada juga motif mempertahankan dan memperluas hegemoni global.

Di sisi lain, banyak orang pasti sepakat bahwa agama-agama besar di dunia pastilah memiliki titik temu ajaran berupa keinginan menciptakan perdamaian di muka bumi dan kepedulian terhadap sesama makhluk Tuhan. Karena itu, menggali teologi perdamaian dan etika kepedulian di berbagai agama bisa berperan strategis dalam upaya meredakan konflik baik di tingkat lokal maupun nasional. Salah satunya, kita bisa menengok keterkaitan antara spirit Buddhisme dan Etika Kepedulian.

Menyelami batin 

Sebagai agama yang sama-sama berakar dari India, Buddha uniknya cukup berbeda dengan agama Hindu. Yaitu, jika agama Hindu lebih mengutamakan ritual yang ada dalam kitab suci Weda, Buddha justru mengedepankan penggalian ke dalam batin untuk mendapatkan pencerahan. Itulah sebabnya Siddharta Gautama disebut "Buddha" alias orang yang mendapatkan pencerahan di pohon bodhi.

Dalam tataran ini, spirit Buddha mirip dengan semangat reformasi Protestan Martin Luther dari segi kebenaran agama. Berdasarkan ini, individu dianggap sebagai penafsir ajaran agama yang berhak mengajukan versi interpretasi khas terhadap agamanya. 

Tambahan lagi, ini selaras dengan ucapan filsuf Amerika William James, "Jika agama hanya membawa perpecahan dan kerusakan antarmanusia, lantas buat apa kita beragama?" Artinya, agama sejatinya diturunkan untuk umat manusia, sehingga agama paripurna haruslah memberikan kebaikan bagi manusia.

Bahkan lebih ekstrem, salah satu pengikut ajaran Buddha yang termasyhur karena menemukan bela diri kungfu, Bodhidharma, menggugat ajaran Buddha yang "mengeras" ke dalam kitab suci. Menurut Bodhidarma, kodifikasi ajaran-ajaran Buddha ke dalam satu kitab suci yang mesti diikuti secara harfiah oleh umat Buddha justru mengekang dinamisme dan keunikan masing-masing pemeluk Buddha itu sendiri. Padahal, inti ajaran Buddha adalah menyelami kekayaan batin pribadi untuk menemukan pencerahan sempurna demi memutus rantai samsara (lingkaran kehidupan kembali) dan mencapai nirwana---kondisi bebas keinginan yang kerap diibaratkan sebagai "tidur lelap tanpa bermimpi."

Maka itu, timbullah kalimat kontroversial sekaligus terkenal ajaran Bodhidarma, "Jika kalian menemukan Buddha di jalan, bunuhlah dia." Maksudnya, pemeluk Buddha harus melepaskan diri dari tafsir mengeras ajaran Buddha sebagaimana termaktub secara formalistik di dalam Kitab Suci. Sebab, individulah yang harus menemukan nilainya sendiri yang cocok untuk dirinya.

Kita boleh tidak setuju dengan pendapat ekstrem Bodhidarma di atas, namun ada setitik hikmah di sana. Bodhidarma mengajak kita untuk kembali ke esensi ajaran Buddha yang diwariskan Siddharta Gautama. Yakni, manusia seyogianya tidak berlindung di balik atau atas nama ajaran kitab suci demi mengklaim diri sebagai "pemilik ajaran yang paling benar." 

Dengan demikian, dalam konteks konflik antara umat beragama sebagai contoh, ruh ajaran yang seperti ini mengikis eksklusivisme dan ekstremisme seraya menggali toleransi antarumat beragama atau antar pemeluk agama yang sama tapi beraliran/bermazhab berbeda. Sebab, manusia diminta untuk merumuskan ajaran dan etikanya tersendiri sesuai konteks dan situasi khas yang dialaminya tanpa perlu memaksa orang lain mengikuti "versi ajaran"-nya tersebut.  

Bayangkan jika kita memetik senukil hikmah dari mutiara wejangan Bodhidarma ini! Masing-masing pemeluk agama atau mazhab berbeda tidak akan lagi perlu mempraktikkan absolutisme ajaran di mana tiap-tiap mereka merasa diri yang paling benar sehingga menganggap Pihak Liyan (The Other) sebagai musuh dengan berbagai label, "kafir", "suku lain", "biadab", dan sebagainya. 

Etika kepedulian

Sebaliknya, umat beragama bisa menggantikan paham absolutisme itu dengan etika antikekerasan bernama etika kepedulian (ethics of care). Inilah etika yang dilambari spirit pencerahan ala Buddha. Di sini, Pihak Lain selalu dianggap sebagai entitas berwajah yang patut dipedulikan, dirawat, dan dikasihi. Lebih konkretnya lagi, etika kepedulian itu dapat diperas menjadi delapan butir ajaran. 

Pertama, etika kepedulian mengutamakan hubungan saling peduli terhadap orang lain. Kedua, orang dalam situasi khasnya masing-masing dapat menerima dan memberikan kepedulian itu. Ketiga, menjunjung tinggi individualitas, bukan individualisme. Maksudnya, masing-masing individu wajib diterima sebagai pribadi yang unik, sehingga mereka saling membutuhkan satu sama lain. Konsekuensinya, manusia harus mengutamakan saling memberi dan menerima.

Keempat, etika ini berfokus pada pribadi konkret, bukan pada sosok tak berwajah (anonim). Kelima, keputusan diambil berdasarkan konteks dan kekhususan kasus, bukan berdasarkan universalitas situasi dan kondisi. Keenam, hubungan antarmanusia dipandang sebagai proses jangka panjang, bukan jangka pendek. Ketujuh, mengutamakan kebajikan (virtue). Terakhir, perasaan peduli haruslah diikuti dengan aksi konkret.

Alhasil, spirit pencerahan Buddha menumbuhkan etika kepedulian yang memiliki beraneka aplikasi praktis seperti: mengembangkan rasa toleransi antara umat beragama, membangun kepedulian antara sesama manusia, merumuskan etos kerja dan amal saleh untuk kepentingan dunia, memupuk semangat cinta kasih penuh kebajikan kepada sesama, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kita bisa memetik pelajaran untuk menjadi insan dunia yang lebih baik, cinta damai, antikekerasan, dan bermaslahat bagi kebaikan alam semesta.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun