Meski sudah ada gencatan senjata antara Israel dan Iran, yang diiringi dengan deeskalasi serangan Amerika Serikat (AS) yang merupakan sekutu Israel ke negeri para Mullah tersebut, tensi antara Amerika Serikat dan Iran masih tinggi. Perang psikologis (psy war) terus terjadi memanas.Â
Nampaknya, sebagaimana yang sudah-sudah, AS konsisten ingin menunjukkan citra "polisi dunia" mereka yang ingin menegakkan aturan antinuklir demi mewujudkan perdamaian dunia. Padahal sudah jadi rahasia umum bahwa Iran adalah negara yang memiliki cadangan minyak bumi berlimpah. Sehingga, boleh jadi hasrat AS menyerang Iran sebenarnya dirangsang oleh keinginan mengangkangi cadangan minyak bumi menggiurkan tersebut plus menegakkan supremasi global mereka di tengah dunia yang kian multipolar. Hanya saja, memang tidak akan gampang bagi negara adidaya ini untuk mewujudkan niatnya.Â
Pasalnya, strategi AS dalam melancarkan invasi ke negara sasaran mereka selama ini mudah ditebak. Pertama, mereka terlebih dahulu melancarkan apa yang disebut Joseph S. Nye (2004) sebagai soft power. Itulah kekuatan lunak yang mengandalkan ide-ide dan alat nonkekerasan fisik sebagai senjatanya. Dalam konteks negara seperti AS, soft power biasanya mewujud dalam bentuk penyebaran gagasan soal demokrasi, kemerdekaan berpendapat, HAM, dan lain sebagainya, termasuk isu antiproliferasi nuklir.Â
Ini jugalah yang disebut Noam Chomsky (2004) sebagai strategi demonologi.Artinya, AS selalu berusaha memosisikan negara lain sebagai setan atau musuh apabila negara itu tidak mengikuti standar nilai mereka. Caranya, menyebarluaskan isu-isu di atas di tengah masyarakat lokal supaya rakyat setempat tergerak mengadakan aksi unjuk rasa massal menuntut perubahan rezim.Â
Kedua, penggunaan soft power itu kemudian menjadi fondasi bagi AS untuk melancarkan serangan fisik yang mencerminkan kekuatan brutal (brute/raw/naked power). Singkatnya, untuk melancarkan serangan militer.Â
Penggunaan soft power plus brute power ini tampak di Libya. Yaitu, AS pertama-tama menghembuskan perlunya keran demokrasi dibuka di Libya, terlepas dari kemakmuran ekonomi di sana. Sebab, dari segi ekonomi, rakyat Libya memang tidak berkekurangan. Lihat saja, data menunjukkan bahwa Libya pada 2011 memiliki produksi domestik bruto (PDB) AS$11.314 atau nyaris 2,5 kali PDB Indonesia pada 2011.Â
Bahkan, alih-alih punya utang, Libya justru memiliki tabungan AS$150 juta. Belum lagi, Libya memanjakan rakyatnya dengan berbagai subsidi, seperti listrik gratis, bebas bunga pinjaman bank, tunjangan pengantin baru dan wanita melahirkan, pendidikan dan kesehatan gratis, serta harga bensin murah sebesar cuma $0,14 (Rp1.240) per liter! Â
Namun, ide demokrasi versi AS mampu mempenetrasi benak sebagian rakyat Libya di sana untuk kemudian melakukan demonstrasi, yang sayangnya direspons Khadafi secara brutal dengan menembaki para demonstran hingga menewaskan lebih dari 6.000 orang. Tak ayal, tragedi ini memberikan amunisi baru bagi AS dan para sekutunya untuk melakukan serangan militer kepada Libya. Hasilnya, kita tahu semua: tumbangnya Khadafi dan dikuasainya minyak di sana oleh AS dan negara-negara NATO.
Teodemokrasi Iran
Pada titik inilah, jika AS masih menggunakan strategi lamanya itu sebagai pintu masuk (entry point) untuk terus menggoyang dan menginvasi Iran, sebagaimana dicoba dengan menghembuskan ide mendudukkan putra Syah Iran ke kursi kekuasaan, negeri itu kemungkinan akan menemui kegagalan persis ketika baru memasuki fase pertama penggunaan soft power.Â
Sebab, ide demokrasi yang menjadi produk andalan soft power AS akan mentah oleh versi demokrasi khas Iran yang disebut teodemokrasi. Itulah model demokrasi yang dengan efektif mengawinkan konsep kedaulatan rakyat dengan kedaulatan Tuhan, konsep sekular dengan konsep religius, dalam bentuk Republik Islam Iran (RII). Â Konsep Republik di sini dimodifikasi dengan kepemimpinan wilayah al-faqih atau pemerintahan para ulama yang menyentuh ketiga pilar Trias Politika dalam demokrasi: eksekutif, legislatif dan yudikatif.Â
Berdasarkan ini, Iran memiliki empat pemilihan umum (pemilu). Pertama, pemilu untuk secara langsung memilih presiden yang akan mengomandani sistem presidensial. Kedua, pemilu memilih anggota parlemen dalam sistem distrik. Parlemen bertugas membuat legislasi dan bahkan memiliki wewenang memberikan persetujuan atas menteri yang diangkat oleh Presiden.
 Ketiga, pemilu referendum untuk menetapkan perundang-undangan yang terkait dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang amat penting.
 Keempat, pemilu untuk memilih ulama-ulama independen---bukan lewat partai---yang akan menjadi anggota Dewan Ahli (Majlis-i Khubregan). Dewan Ahli ini bertugas untuk mengangkat seorang Wali Faqih atau bisa juga Dewan Faqih yang terdiri dari tiga atau lima orang ulama yang berkualifikasi. Wali faqih ini memiliki kekuasaan untuk mengangkat otoritas yudisial tertinggi dan panglima angkatan bersenjata, kekuasaan untuk menyatakan perang dan damai, kekuasaan untuk memobilisasi angkatan bersenjata, dan kekuasaan untuk memecat presiden. Singkatnya, wali faqih adalah semacam kepala negara, sementara presiden adalah kepala pemerintahannya.
Akan tetapi, bukan berarti wali atau Dewan Faqih ini tak bisa diganggu gugat. Sebab, berdasarkan Pasal VIII ayat 107 Konstitusi RII, wali faqih itu diangkat dan bisa diberhentikan oleh Dewan Ahli yang nota bene dipilih langsung oleh rakyat.
Dari uraian di atas, konsep teodemokrasi Iran berarti menjalankan distribusi kekuasaan secara merata, sebuah prinsip utama dalam demokrasi. Sebab, semua pilar pemerintahan RII tidak memiliki kekuasaan mutlak dan bisa saling menjalankan checks and balances. Maka itu, demonstrasi yang mengusung penerapan demokrasi cangkokan Barat biasanya tidak bergema kencang di Iran. Alhasil, sulit bagi siapa pun menggelar panggung awal berkedok isu demokrasi dan HAM demi mendapatkan alasan menginvasi terang-terangan Iran lewat brute force.Â
Kalaupun penyerangan itu terus dipaksakan dengan alasan yang dicari-cari, si penyerang bisa dikategorikan agresor yang pasti akan menuai hujatan komunitas internasional. Dan itu kemungkinan hanya akan kian memojokkan citra AS alih-alih berhasil menaklukkan Iran. Â Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI