Dari ketiga teori di atas, wacana 'koalisi besar' sinonim dengan 'koalisi tambun'. Dan ini sudah terwujud ketika pemerintahan Presiden Prabowo didukung oleh semua partai politik di DPR minus PDI-P yang hanya meraih kursi 16,7 persen. Mengacu kembali pada Lijphard, ini tergolong 'koalisi besar' yang akan membahayakan demokrasi. Peran penyendiri PDIP sebagai oposisi, itu pun belum dinyatakan secara resmi, jelas tidak akan efektif untuk mengkoreksi kebijakan pemerintah yang keliru. Sebab, segala produk undang-undang (UU) yang menentukan hidup masyarakat akan mudah disetir koalisi pemerintah.
Memang, kita bisa saja berharap cabang kekuasaan ketiga alias yudikatif, yang dalam konteks pengujian UU diwakili oleh Mahkamah Konstitusi (MK), akan mengkoreksi kebijakan pemerintah. Namun, patut diingat bahwa sembilan hakim MK itu berkomposisikan tiga usulan pemerintah, tiga usulan DPR, dan tiga usulan Mahkamah Agung (MA). Artinya, 'koalisi besar' akan mudah mendominasi warna kebijakan MK karena enam hakim akan datang dari usulan mereka di pemerintah dan DPR. Kondisi seperti ini tentu mengalangi MK menjalankan fungsi uji materi formal dan materiil (judicial review) UU secara baik.
Maka itu, suatu langkah awal untuk kembali memulihkan semangat demokrasi kita sesuai cita-cita reformasi adalah merampingkan postur koalisi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI