Prosa Liris Episode Natal:
LAUTAN KASIH YANG MENGGELORA
Oleh: Suyito Basuki
Sejak manusia jatuh di dalam dosa, manusia berjalan sendiri menyusuri dunianya yang penuh kegelapan. Â Manusia tertatih-tatih mencoba meraih asa di tengah alam yang kuyub pancaroba zaman. Â Kadang terdengar tangis kesedihan, O Â betapa beratnya kehidupan, O betapa ringkihnya kekuatan! Â Ternyata tidak selamanya kaki tegap melangkah, tidak seterusnya tangan teguh menopang. Â Ada masanya, segala sesuatu menjadi kalah, rebah di atas tanah. Â Siapa yang akan mengangkat, siapa yang bakal meneguhkan? Â Sebuah tanya melesat ke langit, menelusup ke ruang hampa tanpa makna.
Kadang manusia mencibir kekekalan, menyombongkan diri dengan kelihaian.  Ketika mampu mendirikan bangunan pencakar langit menara Babel, mereka bangga, dengan jumawa berkata, kami mampu, kami bisa, walau tanpa bantuan tangan Allah yang berkuasa.  Kami tidak lagi perlu pertolonganNya, kami tidak lagi butuh kehadiran-Nya!  Karena kami mampu dan kami bisa!  Oleh  karena itulah kemudian Allah menceraiberaikan manusia ke berbagai penjuru mata angin.  Mereka tidak lagi memahami satu sama lain karena berbeda bahasa.
Namun kesombongan manusia tidak jua reda, mereka tidak gampang jera. Â Kejahatan adalah bagaikan makanan, kelaliman bagaikan minuman yang memabukkan. Â Mereka tidak memusingkan hukum moral, mereka abai terhadap pranatan. Â Mereka menjadi banal dan menjadi liar, seperti binatang di dalam hutan yang memangsa kaum lemah, mengaum di atas tubuh-tubuh nestapa nan duka. Â Yang penting adalah kepuasan! Â Yang penting adalah kekuasaan! Mari kita bersenang-senang! Â Mari kita bereforia sepanjang masa! Â Teriak mereka girang sambil saling mencumbu sesamanya.
Sekar macapat Pangkur:
Wahai penguasa sorga
di manakah Engkau slalu sembunyi?
ku tak butuh bantuanmu
semua tlah terlaksana
dengan cipta rasa budi diriku
kejahatan yang kucipta
puas rasa diri ini
Allah sebal dengan tingkah polah manusia. Â Air bah pada zaman Nuh itu kemudian melanda. Â Banjir pada seantero dunia, merobek kesombongan manusia. Â O ternyata tidak bisa hidup sesuka hati kita saja. Â O ternyata tidak bisa hidup dengan mengabaikan penguasa sorga. Â Mereka merintih, meratap, berteriak, ya Allah ampunilah kami, ya Allah kasihanilah kami, ya Allah tolonglah kami! Â Lihatlah kaki kami yang sudah tenggelam pada genangan, lihatlah mulut kami yang tersumpal oleh buih-buih air, dengarlah ratapan kami yang tersapu badai topan yang menggunung di permukaan banjir. Â Tetapi Allah diam seribu basa. Â Allah membiarkan manusia jumawa tertimbun air yang bergelora. Â Hanya Nuh hambaNya yang setia mendapat tempat di hati-Nya.
Manusia berkembang biak, beranak pinak.  Mereka pergi ke seluruh tempat di dunia, membangun kehidupan dan peradaban.  Walaupun karya Allah nyata terlihat mata: berupa langit dengan bintang gemintang, matahari yang menghangatkan alam, rembulan yang berkilau di sepanjang malam, pepohonan, bunga-bunga mekar dan berbagai tanaman serta segala hewan yang berkejaran di hutan, namun dosa tetap menelikung manusia, membuat mata hatinya menjadi buta.  Mereka tak ada keinginan mengagungkan-Nya bahkan seolah-olah manusia tidak mengenal akan penciptanya.  Sebab itulah Allah membiarkan pada keinginan bejat mereka.  Rumah tangga tidak lagi elok, karena suami mencari wanita lain, bahkan memburu laki-laki sebagai teman kencannya, sedang istri jelalatan melihat laki-laki lain dan mengejar sesama wanita sebagai pemuas nafsu birahinya.  Orang tua menganggap anak hanyalah beban yang memberatkan yang mengganggu sepak terjang kehidupan sehingga perlu dihentakkan.  Sementara itu anak-anak melihat orang tua sebagai monster menakutkan yang perlu dihajar bahkan dikalahkan!  Sumpah serapah terdengar di setiap sudut ruangan.  Di desa, di kota, penguasa bagaikan raja, sedang rakyat mengintip dari celah-celah jendela mencari kesempatan untuk menyergap  dan mengkhianatinya!
Dunia bagaikan kabut pekat, membuat salah arah  dan salah langkah.  Manusia menjadi putus asa dalam hidupnya. Mereka berteriak, apalagi yang bisa memuaskanku?  Manalagi yang bisa menjadi kesenanganku?  Hati Allah luluh, menyaksikan manusia yang tidak lagi tangguh.  Lautan kasih mengalir dalam hati Allah.  Bagaikan seorang bapa yang terharu melihat anak bungsu yang tlah hilang kembali tertemukan.  Meski kelakuannya telah mengguncang jantungnya, tetapi diterimanya anaknya, dipeluknya, diciumnya, dipujanya dengan mengadakan pesta dengan pujian menembus sorga mengagungkan Allahnya.
Nyanyian Natal:Â
Joy to the world
 the Lord is come
 Let earth receive her King
 Let every heart prepare Him room
 And Heaven and nature sing
 And Heaven and nature sing
 And Heaven and Heaven and nature sing
Â
Mesias Sang Ratu Adil yang lahir, menyatakan lautan kasih Allah yang menggelora terukir. Â Duka nestapa manusia karena dosa, dihempaskan oleh kemurahan dan pengampunan Allah yang bagaikan gelombang samudra menggerus kuasa dosa. Â Dunia biarlah damai, alam raya menjadilah permai. Â Manusia yang hancur karena hidup dalam kekelaman, kembali menjadi makhluk mulia, menyembah Allah sang Pencipta yang mahakuasa, berderap bagaikan langkah tentara, berbuat kebajikan bagi alam dan sesama, bergandengan tangan bersama-sama menuju rumah baka, sorga yang mulia!