Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Antrean Para Sandal

13 Maret 2022   07:14 Diperbarui: 15 Maret 2022   23:01 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sandal-sandal. (sumber: pixabay.com/carmem)

Sandal-sandal itu ditata berkelok-kelok, mulai dari depan mini market sampai menyusuri tepi jalan. Jika diukur menyeluruh hampir mencapai 500 meter. Sandal yang terdiri dari berbagai ukuran, merek dan warna menjadi semacam seni kolase dalam sebuah lukisan. 

Hujan turun, sandal-sandal tak bergeming. Angin meniup kencang, sandal-sandal hanya sedikit oleng karena ada batu yang mengganjal di atasnya. Ada sepasang sandal jepit tidak diganjal batu pemiliknya, ia terbalik dan kelihatan kulit sandal bawah yang sudah tipis dan keropos.

"Kamu sudah tua" sergap sandal jepit merah yang ada di depan sandal yang terbalik yang ternyata memilki warna biru kusam. Mereka berada di tepian jalan, agak jauh dari mini market.

"Biar tua, tetapi aku disayang pemilikku bu Heny..." jawab sandal biru kusam itu.

"Buktinya apa kalau disayang pemilikmu?"tanya sandal jepit merah itu.


"Aku selalu diajak kemana-mana oleh bu Heny. Ke pasar beli kebutuhan dapur, aku diajak. Ke tempat orang yang memiliki hajatan, aku diajak. Ke mall di kota besar aku juga diajak," jawab sandal biru kusam dengan bangga.

"Ngapain bu Heny ke mall?" tanya sandal jepit merah itu penasaran, karena dia tahu bahwa bu Heny itu seorang ibu rumah tangga yang keuangannya pas-pasan, maklum pekerjaan suaminya hanya sopir angkot yang sepi penumpang di masa pandemi ini. Anak bu Heny 3 orang, bersekolah di SMA, SMP dan SD. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, kadang bu Heny dipanggil untuk membantu pekerjaan rumah tangga di kampung atau perumahan di dekat tempat tinggalnya.

"Yah cuma lihat barang-barang saja, katanya sih nanti kalau dapat arisan RT, dia akan membeli barang yang dia inginkan di mall itu," jawab sandal biru kusam itu sekenanya.

"Kalau aku sih, tidak selalu diajak oleh bu Titik pemilikku. Aku hanya diajak saat jalan-jalan santai di alun-alun kota atau di pantai yang tidak jauh dari rumah," sandal jepit merah yang masih kelihatan bagus performanya berkata dengan bangga. Bu Titik oleh warga kampungnya sering ditanya apa sih pekerjaannya, sebab bu Titik tidak memiliki pekerjaan tetap namun pakaian dan dandanannya kelewat mewah.

"Wah kalau begitu bu Titik tidak sayang dong sama kamu?" sandal biru kusam balik bertanya.

"Justru letak sayangnya padaku itu di situ. Dia sangat menjaga kondisiku. Jika dia ke pasar, apalagi hujan terus yang bikin pasar becek, maka akan dipakainya sandal yang kondisinya tipis, keropos persis kayak kamu," tiba-tiba saja sandal jepit berkata dengan nyinyir.

"Wah kamu menghinaku ya, memang sandal jenis kayak aku ini dipakai hanya untuk ke tempat yang becek-becek saja?" sandal biru kusam berkata keras bernada protes.

"Sudah-sudah, kalian jangan saling bertengkar, kita ini hanya sandal. Tuan kita memakai apa tidak kita ini tetap sandal yang dipijak dan dipakai saat dibutuhkan. Kalau tidak lagi dibutuhkan, kita akan dibuang di tempat sampah dan dibakar," tiba-tiba sandal yang berada di urutan di depan mereka angkat bicara.

Sandal jepit warna hitam itu kelihatan bijaksana, berusaha melerai pertengkaran yang terjadi. Jelaslah sandal ini lebih bijaksana dari sandal-sandal lainnya, karena tuannya, bu Lestari adalah istri seorang pemuka agama yang seringkali berceramah tentang kebajikan hidup selama di dunia.

"Wah kalau yang bicara sandal hitam ini, kita wajib mendengarnya nih...," seru sandal jepit merah dengan nada sinis.

"Maklumlah dia kan sandal yang sering dipakai bu Lestari mengikuti suaminya saat ceramah keagamaan di mana-mana," tambah sandal jepit merah.

"Tapi coba tanyakan ke sandal jepit hitam itu, sudahkah dia membayar upah bu Heny selama tiga bulan? Karena bu Heny pernah membantunya sebelum dan sesudah lahiran putrinya. Katanya sih akan dibayar 3 bulan sekaligus.

"Sekarang ini sudah bulan ke lima dan anak bu Lestari yang habis melahirkan sudah kembali ke kota besar, tetapi bu Lestari ini belum juga ada tanda-tanda membayar bu Heny. Padahal uang itu sedianya akan dipakai membeli magic com dan alat rumah tangga lainnya yang kemarin dilihat bu Heny saat berada di mall," keluh sandal biru kusam.

"Ya mungkin saja, dia belum punya uang, mungkin kalau sudah punya uang, pasti akan segera dibayar," bela sandal hitam soal tuan putrinya.

"Kapan juraganmu punya uang? Uang arisan dan celengan RT para ibu yang seharusnya dia berikan kepada yang berhak saja, dari setahun yang lalu, belum dikasihkan kepada yang berhak menerima sampai sekarang. 

"Saat bagi-bagi manfaat uang arisan dan celengan itu malah dia kabur hingga berbulan-bulan, katanya ke rumah orang tuanya yang lagi sakitlah. Hipokrit, hipokrit...," teriak sandal biru kusam, sehingga sandal-sandal lain berjingkat kaget.

"Perhatian, perhatian antrean nomor 1000 harap masuk ke mini market. Antrean nomor berikutnya harap memajukan sandal-sandalnya." Demikian pengumuman dari seorang petugas mini market.

Segera saja pemilik sandal antrean ke-1000 mengambil dan memakai sandalnya untuk mendapatkan 2 liter minyak goreng dari mini market itu.

Pemilik sandal antrean ke-1000, seorang ibu tua keluar dari mini market sambil menenteng 2 botol minyak goreng. Lumayanlah, kalau beli di luar harganya bisa 40 ribu rupiah, di sini hanya membayar 14 ribu.

Ibu tua itu tersenyum karena membayangkan tempe, tahu goreng yang bisa ia nikmati bersama suaminya yang sudah renta bersama cucunya yang ditinggal ibunya bekerja menjadi TKW di Arab Saudi. Ibu tua itu berjalan tertatih dan sandalnya serasa diayun-ayun pelan.

"Wah sebentar lagi ndara putriku dipanggil nih..."kata sandal hitam.

"Kamu urutan nomor berapa?" tanya sandal jepit merah berbarengan dengan sandal biru kusam.

"Aku nomor urutan 1.100. Aku diantrekan sejak jam 3 pagi" terang sandal hitam.

"Oh berarti aku nomor 1.101 ya. Tadi aku diantrekan jam 3 lebih 10 menit," kata sandal jepit merah.

"Tadi aku diantrekan jam jam 3 lebih 15 menit. Jadi aku di nomor 1.102 dong," kata sandal biru kusam tanpa semangat karena waktu sudah menunjuk sore hari, matahari sudah bergeser ke barat, tetapi masih belum juga juragannya mendapatkan minyak goreng yang diharapkan.

Sumber Foto: suara.com
Sumber Foto: suara.com

Para pemilik sandal yang sebagian besar masih berada di tempat itu dengan sigap memajukan sepasang sandalnya atau sepasang sandal yang dititipkan pemiliknya yang memiliki keperluan pulang ke rumah untuk sesuatu hal.

Setelah sandal dimajukan dan ditindih dengan batu, maka mereka akan kembali mencari tempat untuk berteduh di bawah pohon atau di emper mini market itu. 

"Jaga jarak ya, jangan berkerumun dan tetap memakai masker," demikian ucap karyawan toko yang bertugas di depan untuk menyobek nomor antrean yang pemiliknya sudah masuk dan menyemprot tangan pemilik sandal dengan hand sanitizer yang ditentengnya.

Bu Heny, Bu Titik dan Bu Lestari tidak berada di tempat. Bu Heny tiba-tiba harus pulang, ditelpon oleh anaknya, katanya suaminya, angkotnya menabrak kambing orang sehingga terjadi sedikit urusan. 

Bu Titik juga ditelpon, suara telpon itu sepertinya suara seorang pria. Dan bu Titik berkata,"Ya sebentar. Sudah di lokasi ya, di hotel mawar seperti biasanya kan?" Setelah itu dengan segera bu Titik beranjak dari tempat antre dengan lebih dahulu menitipkan sandal kepada seorang ibu lainnya. 

Bu Titik pergi dengan tanpa sandal, jari jemari yang putih dengan kuku berkutek merah tua kelihatan nyata di atas jalanan aspal yang hitam. Bu Lestari ditelpon untuk pulang rumah sebentar karena ada tukang kredit barang yang menunggu di rumahnya.

"Yah, daripada berantem di sini sama tukang kredit, malu disaksikan banyak orang, mending berantem di rumah saja; dasar tukang kredit yang tidak mau percaya omongan orang," gumam bu Lestari sambil beranjak pergi.

"Antrean nomor 1.100 dan 1001 silakan masuk," karyawan mini market menyampaikan pesannya dengan suara lantang. Bu Lestari yang sudah berada di lokasi cepat-cepat memakai sandal hitamnya menyodorkan kartu antrean dan segera masuk.

Bu Titik yang juga sudah datang dengan muka dan pakaian agak lusuh segera memakai sandal jepit merahnya segera bersiap untuk masuk. Bu Heny yang juga sudah di lokasi berdiri di belakang bu Titik bersiap memakai sandalnya.

Setalah bu Titik masuk ke mini market, lama tidak ada panggilan. Bu Heny dengan sandal biru kusamnya menunggu, demikian juga dengan para sandal yang masih ada sekitar 100-an lagi beserta pemiliknya mengantre.

Pengumuman yang ditempelkan di mini market kemarin menyebut bahwa hari ini akan dibagikan 2.400 liter minyak goreng dengan harga spesial kepada 1.200 warga.

Tiba-tiba saja karyawan toko keluar, dengan suara tidak lancar berkata, "Maaf ibu-ibu, karena ternyata stok minyak gorengnya sudah habis, maka ibu-ibu yang memiliki nomor antre 1.002 sampai 1.200 tidak bisa mendapatkan minyak goreng hari ini. Mungkin besok bisa kami buka lagi kesempatan mendapatkan harga minyak goreng dengan harga spesial ini."

Bu Heny tiba-tiba lesu, seharian menahan rasa lapar dan haus serta hati yang gundah karena memikir suami yang tidak mendapat hasil angkot malah didenda karena menabrak kambing orang, ternyata tidak bisa mendapatkan minyak goreng yang didamba.

Bu Lestari dan bu Titik yang tadi lewat dengan senyum merekah di hadapannya seperti malah mencibirnya. Sandal biru kusam menjadi berkunang-kunang karena kedua kaki bu Heny menjejak-jejakkan ke bumi sambil berkeluh kesah tida henti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun