Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Batal Menyumbang Bukan Tindak Pidana

5 Agustus 2021   09:43 Diperbarui: 5 Agustus 2021   13:02 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyerahan Sumbangan Keluarga Akidi Tio secara simbolis di Mapolda Sumsel (Dok. Humas Polda Sumsel)

Hukum pidana universal termasuk di Indonesia menganut asas legalitas yang menggariskan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang pidana yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan.

Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang berbunyi, "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada."

Sampai saat ini, tidak ada undang-undang di Indonesia yang pasalnya dengan tegas dan jelas menyebutkan "barang siapa menjanjikan sumbangan tidak terealisasi dipidana penjara".

Penulis belum menemukan pasal demikian dalam undang-undang apapun, termasuk pasal-pasal dalam UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, sebagaimana disebut-sebut Direktur Intelkam Polda Sumsel Komisaris Besar Polisi Ratno Kuncoro.

Pasal-pasal KUHP juga tidak ada yang cocok. Tindak pidana penipuan dalam Pasal 378 KUHP, misalnya, jelas berbeda secara konseptual. Dimana penipuan untuk "mendapatkan" sesuatu, jelas berbeda secara konseptual dengan janji mau menyumbangkan uang, dimana pihak penyumbang justru (akan) "melepaskan" uang miliknya.

Pasal 378 KUHP berbunyi, "Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun."

Pasal 15 dan 16 UU No 1 Tahun 1946 yang disebut Kombes Ratno Kuncoro tidak cocok untuk perbuatan anak bungsu Akidi Tio, Heryanti. Pasal ini lebih cocok digunakan untuk menjerat Inspektur Jenderal Eko Indra Heri (Kapolda Sumsel) dan Kombespol Ratno Kuncoro sendiri. Apa sebab?

Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 berbunyi: "Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun."

Nah, yang menyiarkan kabar rencana sumbangan Akidi Tio tersebut adalah pihak Humas Mapolda Sumsel, di Mapolda Sumsel, dan dengan fasilitas Mapolda Sumsel. Foto sumbangan keluarga Akidi Tio di Mapolda Sumsel yang tersebar luas adalah milik Humas Polda Sumsel. Dari sini saja sudah kelihatan siapa yang salah. 

Bukan Heryanti atau keluarga Akidi Tio lainnya yang menyiarkan rencana sumbangan tersebut.

Awalnya Heryanti hendak menyerahkan sumbangan secara simbolis kepada pribadi Irjen Eko Indra Heri di sebuah hotel, artinya, dilakukan secara tertutup. Namun Irjen Eko Indra Heri mengarahkan Heryanti ke Mapolda Sumsel dengan diliput luas oleh media massa.

Dengan kedudukan dan pangkat tinggi sudah sepatutnya Irjen Eko Indra Heri dkk di Mapolda Sumsel menyadari dengan akal sehat bahwa sumbangan pribadi sebesar Rp 2 triliun mencurigakan tapi tidak melakukan pengecekan terlebih dahulu melainkan langsung diekspos.

Makanya, sangat beralasan Kapolda Sumsel Irjen Eko Indra Heri diperiksa oleh Propam Mabes Polri. Bahkan, Irjen Eko Indra Heri dkk layak diproses hukum secara pidana.

Dalam pada itu, Pasal 16 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yang juga disebut Kombespol Ratno Kuncoro, secara redaksional sangat berbeda jauh dari peristiwa sumbangan keluarga Akidi Tio. Pasal ini tentang penghinaan terhadap bendera kebangsaan, bukan soal sumbangan.

Pasal 16 UU No 1 Tahun 1946 sendiri berbunyi, "Barang siapa terhadap bendera kebangsaan Indonesia dengan sengaja menjalankan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan perasaan penghinaan kebangsaan, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya satu tahun enam bulan."

Lebih lanjut, yang paling mendasar, kalaupun sumbangan keluarga Akidi Tio tidak jadi terealisasi, maka tidak ada yang dirugikan (korban) dari peristiwa ini kecuali ego harga diri Kapolda Sumsel Irjen Eko Indra Heri dkk dan itupun karena kebodohan mereka sendiri.

Buat apa energi bangsa tersedot untuk perkara tanpa korban. Apalagi sampai menyeret institusi negara yang harusnya lebih fokus menangani pandemi.

Jangan sampai institusi negara sepenting Polri diseret mencari-cari pasal untuk mengkriminalisasi keluarga Akidi Tio demi menyelamatkan pribadi muka Irjen Eko Indra Heri dkk di Mapolda Sumsel.(*)

Disclaimer: tulisan ini merupakan pendapat pribadi, penulisnya bukan kuasa hukum dan tidak mewakili kepentingan keluarga Akidi Tio.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun