Mahyeldi berada di tengah dilema itu. Sebagai pribadi ia tulus. Tapi sebagai pemimpin, ia terperangkap dalam konstruksi moral partainya sendiri. Ia harus terus menjadi “pemimpin saleh,” bukan “pemimpin progresif.” Padahal keduanya tak harus bertentangan.
Birokrasi di bawahnya pun meniru ketenangan itu, bekerja tanpa gaduh, tapi juga tanpa gebrakan. Akibatnya, Sumatera Barat berjalan seperti jamaah tanpa imam, tertib tapi tidak ke mana-mana.
Sumatera Barat yang Makin Sunyi
Padang kini tidak lagi sekadar kota pesisir, ia adalah simbol dari politik yang menua. Warga berbicara dengan nada pasrah, seperti orang yang sudah lelah menunggu perubahan. “Mahyeldi itu baik,” kata banyak orang, “tapi terlalu baik untuk dunia politik.”
Kebaikan, rupanya, tak cukup jadi bahan bakar untuk birokrasi yang haus inovasi. Program-program Pemprov berjalan, tapi tanpa denyut yang terasa. Di ruang publik, suara pemuda makin pelan. Kritik mereka dibalas dengan nasihat, bukan kebijakan.
Dan di balik semua itu, PKS masih sibuk menata barisan relawan baru, bukan untuk ide baru, tapi untuk mempertahankan citra lama, partai saleh, partai bersih, partai yang membela rakyat. Semua benar, tapi semua itu sudah tidak cukup.
Ketika Kesalehan Menjadi Cermin yang Retak
Mahyeldi, dengan segala kesantunannya, kini seperti cermin retak di rumah PKS. Ia memantulkan wajah yang penuh keikhlasan, tapi di baliknya tampak retakan besar antara moralitas dan realitas.
Partainya ingin ia jadi simbol kesalehan, tapi rakyat menuntut ia jadi simbol keberanian. Dua peran itu sulit dijalankan bersamaan. Dan di antara keduanya, Mahyeldi memilih diam, karena diam adalah cara terbaik untuk tetap terlihat sabar.
Namun sejarah tidak menulis tentang kesabaran. Ia menulis tentang perubahan. Dan Sumatera Barat kini butuh sesuatu yang lebih keras dari sabar, tindakan.
Kekuasaan yang Tidak Diperbarui