Mohon tunggu...
susilo ahmadi
susilo ahmadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - sekedar menyalur hobi menulis

cuma orang biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasus SMP 1 Turi, Gambaran Minimnya Budaya Safety Kita

23 Februari 2020   09:02 Diperbarui: 23 Februari 2020   09:08 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mumpung lagi ramai kasus susur SMP 1 Turi saya jadi teringat ketika masih kelas 2 SMP dulu (mungkin tahun 90-an). Waktu itu PRAMUKA adalah ekskul wajib semua siswa. Tiap Sabtu sore kami diharuskan berkumpul di sekolah untuk melakukan berbagai kegiatan PRAMUKA mulai dari tali temali, baris berbaris, dll. 

Satu kejadian yang masih membekas di benak saya di suatu sore ketika itu kami diharuskan melakukan penjelajahan singkat. Kami pun berjalan melewati jalan-jalan pedesaan sampai akhirnya pada jarak kira-kira 300 m dari finish tiba-tiba kami dicegat oleh salah satu kakak pembina namanya H. 

Kami diharuskan berjalan sembari menggantung di sebuah tali yang melintang di atas sungai sepanjang kira-kira 6 m. kawan-kawan termasuk saya langsung kecut. Sebagian besar berhasil kabur tetapi saya dan beberapa teman tidak. Terpaksa mau tak mau kami harus membuang rasa takut itu. Satu orang pertama saya lihat lolos tetapi kemudian ada yang jatuh ke sungai. 

Untungnya sungainya tidak terlalu dalam meskipun airnya keruh. Sampai tiba giliran saya akhirnya terpaksa menguatkan diri. Pikir saya mereka aja ada yang bisa mengapa saya tidak? Ternyata berjalan sambil menggantung begitu sangat sulit dimana saya memang belum pernah melakukan sebelumnya dan hasilnya saat hampir tiba di finish saya sudah tak kuat. 

Untung ada salah seorang yang kemudian menarik tangan saya hingga tidak jatuh ke sungai. Sepatu saya basah tapi itu tak masalah asal tidak tercebur ke sungai bisa basah semua dan masuk angin. Coba kalau sebelumnya kami dilatih dulu dengan menggantung bukan di atas sungai langsung seperti di lapangan sehingga bisa lebih siap. 

Sebenarnya apa yang terjadi di SMP 1 Turi adalah manifestasi dari budaya kita yang selalu menganggap safety adalah urusan paling belakang. Kalau sudah terjadi kecelakaan biasanya cuma saling tuding, cuci tangan, atau menganggapnya sebagai bencana sebagai kehendak Yang Kuasa. Pihak-pihak yang bersangkutan pun biasanya cuma minta maaf dan kasus pun udah selesai secara otomatis. 

Begitu terus pola ini berulang sampai sekarang. Tak perlu jauh-jauh untuk melihat minimnya budaya safety kita, kalau saya cukup memandang keluar di jalan depan rumah. Dalam tempo beberapa detik saya akan bisa melihat dengan sangat mudah orang-orang berkendara motor tanpa helm, tidak ada kaca spion, atau lampu tidak menyala di malam hari. 

Pakai sabuk pengaman pun saat naik mobil juga cuma di tengah-tengah kota yang sering ada razia tetapi begitu keluar kota dikit dah dilepaskan itu sabuk. Sabuk pengaman dan helm masih dianggap sebagai aksesoris "pemanis" kendaraan saja. Begitu pula pagi hari antara pukul 6-7 jalan raya di sini selalu hiruk pikuk oleh anak-anak sekolah yang sedang berangkat sekolah dengan naik motor dan saya cuma melihat satu dua orang saja yang mau memakai helm. 

Saya hanya mikir apakah sekolah mereka tidak mengajarkan safety di jalan raya? Kalau menilik semasa saya masih sekolah dulu memang sama sekali tidak diajarkan tetapi apakah sekarang masih belum ada perubahan juga? Kalau memang demikian berarti tidak ada kemajuan pendidikan kita sama sekali. 

Padahal sebenarnya sekolah mampu meng-enforce siswanya agar tertib di jalan misalnya melarang siswa yang tidak pakai helm memasuki sekolah atau tidak memiliki SIM. Mungkin kalau di kota anak-anak sekolah bisa naik angkot tetapi bagaimana dengan di desa seperti saya yang tidak ada angkutan umum? Otomatis mereka akan naik motor sendiri menuju sekolah. 

Orang tua pun banyak yang menganggap anaknya sudah cukup besar sehingga mampu menyetir sendiri di jalan padahal walaupun sudah besar bukan berarti mereka itu sudah memahami aturan tertib berlalu lintas. Bahkan yang sudah memahami juga belum tentu mau mentaatinya.

Saya akan menulis tentang kisah anak tetangga anak kelas 1 SMP bernama M beberapa tahun lampau. Waktu itu hari pertama lebaran, ketika sedang bertamu di rumah salah satu kerabat di depan rumah M mendadak ada orang datang dengan tergopoh-gopoh memberikan kabar jika M telah mengalami kecelakaan parah. 

Saya kaget dan penasaran dengan penyebab sekaligus kronologinya. Sore harinya baru terjawab. Ceritanya si M berangkat silaturahmi bersama 2 orang temannya naik motor (tanpa pakai helm jelasnya). Sampai di sebuah jalan dia disalip oleh motor yang lebih jelek dari miliknya itu. Dia pun merasa panas hatinya dan langsung tancap gas. 

Rupa-rupanya M tidak menyadari jika di depan ada bagian jalan yang cembung. Spontan M dan teman-temannya jatuh. Kedua temannya pingsan tetapi langsung sadar tak lama kemudian. Nahas bagi M dia tak sadarkan diri dalam waktu lama. 

Keluarganya pun membawanya ke klinik pratama terdekat tetapi tidak bisa menangani sehingga dirujuk ke RS swasta. RS pun siap melakukan penanganan dengan biaya 100 jutaan. Orang tua M merasa keberatan walaupun sebenarnya mereka tidaklah miskin.  

Bahkan salah satu kerabatnya yang tajir mau memberikan bantuan berapapun uang yang dibutuhkan. M pun di-pulang paksa dan dirawat di rumah salah satu perawat selama beberapa hari. 

Berhubung kondisi M semakin memburuk maka M pun dibawa ke RSUD dengan SKM (Surat Keterangan Miskin). Walaupun namanya SKM tetapi di desa saya siapapun boleh mendapatkannya. Sayang sudah terlambat dan M meninggal beberapa  hari kemudian.

Kisah ini cukup fenomenal di desaku tetapi adakah orang tua di sini yang belajar dari kisah ini? Tidak banyak. Sampai hari ini saya masih sering melihat anak-anak SD (bukan SMP) naik motor (bodong) bertiga atau berempat ngebut di jalan desa (padahal jalan desa sempit semua dan tidak rata). Bahkan tak jarang sambil tertawa-tawa dan pernah mengejek saya yang naik lebih lambat. 

Istri saya di belakang bilang, "lihat yah!" Saya pun cuma berkata, "ah sudah biasa itu. Indonesia gitu looh!" "Justru hal-hal semacam itu harus dilestarikan mam karena ini adalah ciri khas rakyat kita hehe...", saya menambahi sembari tersenyum kecut.  Safety itulah yang selalu diabaikan oleh masyarakat kita sementara di negara maju justru safety itu nomor 1.  Sebuah logika terbalik dan apakah karena ini ya yang membuat negara kita sulit maju pesat? Entahlah...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun