"Jangan bawa istilah rumit. Bawa manfaat. Kalau orang tua bisa nonton pengajian dari STB, kalau ibu bisa baca resep dari server lokal, kalau anak bisa belajar tanpa beli kuota---mereka akan paham tanpa dijelaskan."
Mas Bowo menutup laptop. "Saya rasa, kita siap mulai. Pilot desa, tiga teknisi, satu admin konten, satu manajer operasional. Dan kita sebar sistem ini."
"Nama proyeknya?" tanya Panudi.
Pakde menjawab sambil menghembuskan asap, "Gotong Royong Digital. Karena yang akan menyelamatkan kita bukan teknologi, tapi semangat berbagi."
Â
Pagi yang Menanam Masa Depan
Matahari mulai tinggi. Jendela kafe mulai terang. Pelanggan lain mulai berdatangan. Tapi di pojok itu, Pakde Koco, Panudi, Bowo, dan Kamal telah menyusun fondasi baru: desa yang terhubung, mandiri, dan dikelola sendiri.
"Pakde," kata Panudi, "kalau semua desa seperti ini, Indonesia nggak perlu takut tertinggal."
Pakde berdiri, merapikan rambutnya ang masih rapi. "Kalau kalian tidak takut mencoba, Indonesia akan selalu punya harapan."
Mereka keluar dari kafe Kopi Legenda, membawa bukan hanya catatan dan flashdisk, tapi keyakinan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari percakapan kecil---ditemani kopi, rokok, dan semangat gotong royong.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI