Pakde mengangguk sambil mengetuk-ngetuk ujung rokoknya di asbak. "Anak-anak muda desa itu pintar. Tapi butuh percontohan. Jangan cuma dikasih sosialisasi. Kasih mereka alat, kasih peran."
Â
Dari Balai Desa ke Rumah Warga
Obrolan berlanjut serius. Mas Bowo menunjukkan skema jaringan lokal sederhana: satu server, router kuat, dan akses WiFi internal. "Ini bisa jalan dengan bandwidth kecil. Konten bisa diakses dari balai desa, rumah warga, bahkan sekolah."
Kamal membuka peta. "Kalau tiap desa punya titik server, kita bisa hubungkan antar desa. Jaringan lokal desa A ke B ke C. Internet hanya dibutuhkan untuk sinkronisasi, bukan akses harian."
Pakde menyulut rokok lagi. "Lha wong desa bisa punya masjid, balai desa, dan lapangan. Masa nggak bisa punya server sendiri?"
Panudi semangat. "Kalau kita bikin Rumah Digital Desa, isinya konten edukatif, video, surat-menyurat desa, SDGs, laporan keuangan... Warga tinggal buka dari rumah. Gratis pula."
Mas Bowo mengangguk. "Dan itu bisa jadi unit usaha. Bumdes bisa tarik iuran bulanan warga, bahkan kelola layanan pelanggan."
"Legalitasnya?" tanya Pakde.
"Lewat koperasi atau unit usaha Bumdes. Tapi harus jelas. Jangan jadi proyek uji coba tanpa pelatihan dan SOP," jawab Kamal.
Pakde tersenyum. Ia tahu pembicaraan ini bukan mimpi. Ini soal eksekusi.
Â