Kabut tipis masih menggantung di dataran tinggi ketika kafe Kopi Legenda membuka pintunya. Udara pagi membawa aroma robusta yang menyeruak dari dapur kecil kafe. Kafe itu tak besar, dindingnya bata merah terbuka, meja kayu lawas, kursi rotan, dan sudut khusus untuk pelanggan tetap.
Di sudut itulah Pakde Suryokoco, lelakiparuh baya berambut perak, duduk dengan tenang. Di tangannya, sebatang rokok kretek mengepul lambat, mengiringi kepulan kopi hitam yang masih panas. Ia menyulut rokoknya dengan korek bensol, menghembuskan asap ke luar jendela, lalu berkata pada dirinya sendiri, "Hari ini semestinya datang."
Dan benar, beberapa menit kemudian, tiga orang masuk bergantian. Panudi, pendamping desa dari Sukoharjo; Mas Bowo, penggiat jaringan digital dari Bandung; dan Kamal, konsultan teknologi dan konsultan ASDP.
"Kopi Legenda ini tempat suci, Pakde," sapa Panudi sambil menarik kursi.
"Apalagi kalau disertai rokok dan percakapan waras," jawab Pakde sambil tertawa.
Â
Antara Intranet dan Imajinasi
Kopi pun disajikan. Empat cangkir hitam, dan sepiring singkong goreng yang masih hangat.
Mas Bowo langsung membuka laptop. "Pakde, kami masih terkendala edukasi. Warga desa, bahkan perangkat desa, belum bisa bedakan internet dan intranet. Kalau dibilang server lokal, mereka langsung bingung."
Pakde menyedot rokoknya pelan. "Karena kita ini keburu diseret global. Semua pakai 'cloud' padahal awan kita masih bocor. Kalau mau bangun dari desa, ya pakai pondasi lokal."
Kamal menyambung, "Kami pasang sistem lokal di kapal ASDP. Penumpang bisa akses film dan info pelayaran tanpa internet. Kalau di laut bisa, masa di desa nggak bisa?"
"Masalahnya mindset," tukas Panudi. "Orang masih mikir internet = kecepatan. Padahal kita butuh kestabilan dan kedaulatan data. Itu bisa kita bangun dengan intranet."