Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Di Nanga Rai Oi, Kami Menyapa Senja dan Menemukan Kedamaian

9 Juni 2021   07:39 Diperbarui: 9 Juni 2021   08:06 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Bersama Sudirman/Baly  Dompu-NTB, 

SEBELUM waktu ashar berangsut jauh Selasa, 8 Juni 2021, saya bergegas menuju satu tempat. Dengan kuda besi bermerek Jupiter, saya membela jalan yang mulai ramai. Mega-mega di ufuk barat terlihat dari kejauhan. 

Dengan melambatkan laju kendaraan, saya menikmati perjalanan. Di kiri kanan jalan terlihat sawah melompong karena usai di panen. Hanya sisa jerami padi dan sisa pembakaran di pematang sawah yang hitam pekat terlihat jelas. Musim panen padi telah usai.

Padi adalah salah satu tanaman tahunan bagi masyarakat tempat dimana saya tinggal. Walau pun beberapa tahun belakang ini, sebagian warga mulai melirik tanaman jagung karena harganya yang cukup menjanjikan. Namun demikian, tidaklah sepenuhnya mampu menggantikan komoditi padi. Pasalnya, nasi yang bersumber dari padi masih merupakan makanan pokok bagi masyarakat setempat.

Dokpri. Bersama Baly
Dokpri. Bersama Baly
Doipri. 
Doipri. 
Terlihat jalan yang saya lewati sudah berkubang di beberapa titik. Entah karena lalu lintas kendaraan yang melewati jalan menuju Desa Jala ini sudah ramai beberapa tahun belakang ini, atau karena sesekali di lewati mobil-mobil truk dengan muatan material yang cukup berat. Entahlah, dalam perjalanan kali ini saya tidak sedang mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Biarkan itu menguap bersama lajunya waktu. Saya terap memacu kendaraan dalam semilirnya angin persawahan.

Kurang setengah kilo meter dari desa Jala. Desa dimana mayoritas masyarakatnya memilih menjadi nelayan dan tinggal di pesisir timur teluk Cempi, saya memasuki jalan bebatuan yang belum di aspal. Lambat laju motor bergegas. Sebisa mungkin bannya tidak masuk dalam kubangan yang menganga. Walaupun tidak selincah Valentino Rossi, beberapa kubangan di beberapa titik jalan, bisa saya lewati dengan selamat sentosa.

Dokpri. Nanga Rai Oi/Danau Lari Air
Dokpri. Nanga Rai Oi/Danau Lari Air
Dokpri. Danau Lari Air
Dokpri. Danau Lari Air
Dokpri. Danau Lari Air menghadap Laut
Dokpri. Danau Lari Air menghadap Laut
Dokpri. 
Dokpri. 
Sebelum benar-benar sampai, kemudian motor yang saya kendarai harus memasuki jalan setapak yang biasa digunakan warga untuk keluar masuk kebunnya. Selain jalannya berkelok-kelok, saya juga harus serba hati-hati karena di beberapa titik batuan seukuran bola sepak terlihat nongol di jalan yang saya lalui. Kembali tantangan ini saya bisa taklukan setelah dengan sabar melewati medan yang cukup menantang.

Perjalanan kali ini saya tidak sendiri. Saya bersama Sudirman. Sudirman adalah sahabat saya dan kali ini kami memiliki misi yang sama. Mengambil rumput merambat dan kotoran sapi kering. Rumput dibutuhkan untuk mempercantik kebun, sedangkan kotoran sapi kering digunakan sebagai pupuk bagi tanaman.

Kebetulan Baly begitu dirinya biasa di sapa memiliki kebun mini. Kebun di buatnya kurang lebih dua pekan yang lalu, dan keberadaannya tepat di belakang kantor tempat dimana kami bekerja. Ada banyak tanaman yang ditanam di taman mini ini. Untuk mempercantiknya, dibutuhkan perawatan ekstra, terlebih harus mendapatkan asupan pupuk berupa kotoran sapi agar tanaman bisa tumbuh dengan segar.

Dokpri. Nanga Rai Oi
Dokpri. Nanga Rai Oi
Selain Baly, kebun mini juga di memiliki oleh Pak Jufrin atau akrab dipanggil Jeff. Kebunnya berada di pangkalan perbatasan desa Daha dan desa Marada kecamatan Hu'u, kabupaten Dompu Nusa Tenggara. Kebetulan pada saat berangkat, kami tidak mengajak pak Jeff, karena dirinya sedang nyenyak tidur di kantor dan mengejar mimpi yang segera diwujudkan. Jadilah kami berangkat berdua.

Mencari kotoran sapi kering tidaklah amat sulit. Pasalnya, tempat dimana kami sambangi terdapat beberapa kandang sapi milik warga. Di dalam kandang, kami tinggal mengambil dan memasukannya ke dalam karung. Kotoran sapi ini tidak perlu lagi disemai, karena sudah terurai. Kami ambil secukupnya sesuai kebutuhan. Jika habis, kami bisa datang lagi untuk mengambilnya. Sebelum beranjak, sejenak kami sempat berbincang dengan pemilik kandang. Ngobrolnya tidak jauh dari urusan sapi dan cara memeliharanya.

Satu misi selesai, selanjutnya kami melanjutkan misi mencari rumput. Kami bergegas memasuki kebun kelapa, kurang sepuluh meter dari bibir pantai teluk Cempi. Dengan alat tembalang di tangan, Baly begitu bersemangat menggali rumput. Digalinya dengan cara melingkar agar bisa terangkat dengan mudah dan tidak merusak rumput. Setelah di rasa cukup, saya ikut membantunya memasukan ke dalam karung.

Dokpri. Nanga Rai Oi
Dokpri. Nanga Rai Oi
Dokpri. Danau
Dokpri. Danau
Tidak jauh dari tempat mengambil rumput, mata kami disuguhkan dengan danau yang begitu tenang di pandang. Masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan Nanga Rai Oi, yang jika diartikan secara sederhana dalam bahasa Indonesia yakni Danau Lari Air atau danau air mengalir. Danau ini sudah lama ada. Bahkan sebelum saya mengenal dunia. Di danau ini masyarakat biasanya menjaring ikan dan mengambil siput hitam. Itu dilakukan ketika airnya surut. Bahkan air di danau ini dimanfaatkan juga untuk menyiram  tanaman di kebun-kebun warga.

Keberadaan Nanga Rai Oi menghubungkan antara air tawar dari arah sungai dengan air laut. Tapi, setelah ada proses penggalian oleh perusahaan pemecah batu yang tidak jauh dari danau, jadilah danau menjadi tambah lebar dengan air yang hampir tidak pernah kering.

Dokpri. Senja temaram di danau
Dokpri. Senja temaram di danau
Dokpri. Suasana danau yang tenang
Dokpri. Suasana danau yang tenang
Dokpri. Suradin/Raden't
Dokpri. Suradin/Raden't
Nanga Rai Oi terlihat indah kala temaram senja menyapa semesta. Airnya terlihat tenang, burung bangau terbang semeteran dari permukaan air, sapi di pinggir danau memakan rumput begitu pelan, dan sapuan mentari sore yang memantul di daun kelapa menambah indahnya pemandangan yang disuguhkan kepada kami. Semesta sedang berbaik hati dengan menyambut anak manusia yang sedang melepas lelah dan melampiaskan hobi.

Khawatir kehilangan momen, kami bergegas mendokumentasikan kunjungan ini dengan camera handphone. Kami bergantian mengambil gambar sembari menikmati semilirnya angin laut. Dari kejauhan terlihat gunung poto Fare berdiri angkuh menantang semesta.

Dokpri. Senja temaram
Dokpri. Senja temaram
Sebelum keburu malam, kami mulai bergegas meninggalkan jejak. Dari kejauhan terdengar lantunan suara bacaan alqur'an dari pelantang suara masjid. Malam mulai gelap. Hari berganti. Dan kami mengakhiri hari dengan cinta dan kedamaian. Adakah esok masih seperti ini? Entahlah. Kami hanya ingin membuat hidup lebih berarti dan memberi makna pada semesta, saat ini dan untuk selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun