Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Perjalanan ke Kota Bima yang Penuh Kenangan

2 Juni 2021   20:35 Diperbarui: 2 Juni 2021   20:45 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak perlu heran, karena kota ini adalah kota dagang yang sudah lama membangun interaksi dengan orang luar dengan cukup baik, termasuk orang Melayu. Ketika mobil kami memasuki  pintu gerbang kota, terlihat jelas lalu lintas kendaraan yang memenuhi ruas jalan.

Tulisan "Maja Labo Dahu" yang terbaca jelas di atas papan masuk kota mengingatkan saya akan pesan ibu ketika merantau dulu. 

"Maja Labo Dahu" adalah pesan moril yang setiap perantau atau yang meninggalkan rumah dalam suatu perjalanan akan terucap dari orang tua atau tetua kampung. 

Kalimat ini mengingatkan agar malu ketika berbuat salah dan takut ketika tidak berbuat yang benar. Paling tidak demikian penafsiran hemat saya. 

Kalimat ini tidak hanya berlaku bagi orang Bima, tapi juga sering terucap pada masyarakat Dompu. Sebab, orang Bima dan Dompu adalah bersaudara, baik secara historis terlebih budayanya.

Dokpri. 
Dokpri. 
Setelah melewati dipertigaan jalan Kota, mobil kami terhenti. Bang Syarif, salah seorang di antara kami memasuki toko setelah turun dari mobil. Tidak lama kemudian saya pun ikut turun. 

Di dalam toko, pandangan saya menyambar barang-barang yang di pajang di rak pinggir tembok. Terlihat di ujung meja seorang ibu yang sedang menulis. 

Di sampingnya ada banyak nota yang ditancapkan pada satu batang besi di atas meja. Matanya sipit, kulitnya putih. Sesekali ia memberi perintah kepada karyawannya dengan bahasa daerah yang logatnya mirip Jack Chan. Ia terlihat serius, seolah senyum terlalu mahal untuk siapa pun yang menyambanginya.

Seorang karyawan membawa barang yang kami pesan. Dia simpan di atas meja. Setelah kesepakatan harga, tangannya begitu lincah di atas kalkulator. Dia sodorkan nota. 

Setelah melihat sepintas, saya ulurkan beberapa lembar uang kertas berwarna biru. Ibu itu datang mengambil uang setelah menyesuaikan harga barang dengan nota dan menghitungnya kembali di kalkulator. Apakah dia tidak percaya sama karyawannya? Entahlah. 

Saya tidak ingin menghabiskan waktunya untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Atau jangan-jangan itu bisa membuatnya naik pitam. Nampaknya ia hanya berpikir bisnis. Uang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun