Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kata dan Penghargaan terhadap Eksistensi Perempuan

30 Mei 2020   06:44 Diperbarui: 30 Mei 2020   17:59 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Indiemarket.news

MUNGKIN di antara kita pernah mendengar kata-kata berikut ini: Ibu kota, ibu jari, ibu pertiwi, nenek moyang bahkan sekarang sudah ada hari ibu yang dirayakan setiap tahunnya, yang jatuh pada tanggal 22 Desember. Dan sebaliknya kita jarang atau bahkan tidak pernah mendengar sebutan bapak kota, bapak jari, bapak pertiwi, atau bahkan kakek moyang.

Apa maksudnya?

Barangkali setiap orang memiliki tafsiran yang beragam dengan kata-kata tersebut. Tapi, hal ini bisa di nilai bahwa, keberadaan perempuan di alam ini memiliki peran yang cukup vital dalam kehidupan. Kelahiran banyak peradaban di dunia ini, tidak lepas dari peran perempuan, sebut saja misalnya, peradaban Yunani yang mengenal Dewi Cinta, sedangkan Kristen dan Islam tersebutlah kelahiran Isa dari rahimnya Maryam dan Muhammad dari seorang ibu bernama Aminah. Dimana kedua nama terakhir menjadi nama yang melegenda hingga kini. Pengaruh keduanya masih eksis dan nampaknya mengawet sepanjang masa. Namun mereka lahir dari seorang wanita hebat nan luar biasa di masa-Nya.

Dalam sejarah bangsa kita, perempuan telah mengambil peran yang tidak kalah penting dari kaum Adam. Nama-nama seperti Cut Nyak Dien, R. A. Kartini, Dewi Sartika adalah sedikit nama yang menjadi martir bagi perjuangan bangsa ini di masa lalu. Bahkan Soekarno lahir dari rahim seorang Ibu yang hebat yang bernama Ayu Nyoman Ray, begitu juga seorang B.J Habibi lahir dan dididik dengan cara luar biasa oleh ibunya R. A. Tuti Marini Puspowarjo.

Dokpri. Ibuku, Surgaku (dokpri)
Dokpri. Ibuku, Surgaku (dokpri)
Perempuan telah melahirkan tokoh-tokoh hebat, menciptakan peradaban, menghamparkan kasih, meneteskan embun-embun bening yang menyejukkan kalbu. Ia laksana oase di padang pasir yang tandus, dengan menghadirkan sejuta harapan kepada semesta.

Kata ibu kota, tidak bisa dimaknai secara harfiah yang menunggu pembanding agar lahirnya bapak kota. Kata tersebut seolah ingin bertutur bahwa, ibu kota bisa memainkan peran lebih dibandingkan kota-kota lain. Ia memainkan peran seorang ibu yang selalu menjadi pelindung, penjaga, penasehat dan contoh bagi anak-anaknya. Selalu hadir kala anak-anaknya menangis, mengeluh, terkena masalah, dan menghapus air mata yang menetes dan membasahi pipinya. Ibu adalah tempat kembali, tempat mengadu, tempat bersimpuh kala semesta berpaling, menyindir, menghujat dan tak bersahabat.

Hal yang sama, bisa kita maknai tentang kata ibu jari, juga tentang nenek moyang yang selalu di dengungkan dan dinyanyikan kepada peserta didik di bangku sekolah. Kalau diartikan secara harfiah, bisa dibayangkan kalau seorang nenek mengarungi ruang samudra, membentangkan layar, menembus gulungan ombak, membaca arah angin dan melemparkan sauh kala menyandarkan kapal di bibir pantai. Tentu hal ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh seseorang yang telah berusia lanjut, yang seyogyanya hanya bisa duduk sambil menguyah daun sirih, dan menghabiskan waktu sambil mengingat kembali lipatan-lipatan masa lalunya.

Suatu kata mengisyaratkan banyak makna, menyimpan nilai yang setiap insan bisa menyelam untuk mengambil intisarinya, lalu mewartakan kepada semesta. Sesuatu dapat menampilkan
bukan yang sebenarnya, tapi memberikan ruang kepada setiap yang berpikir, untuk memetik, serta memungut  pelajaran dalam setiap tarikan nafas kehidupan.

Penghargaan terhadap perempuan, tidak harus diminta naik di atas panggung, lalu dikalungkan medali dengan diikuti tepuk tangan yang riuh dari para penonton. Perempuan tidak hanya bersaing antar mereka, siapa yang layak disebut cantik, berjalan di atas karpet merah dengan disaksikan oleh sorot mata yang tajam dari kaum adam yang menikmati kemolekan tubuh, harum parfum semerbak ke seluruh penjuru, lekukan pantatnya yang menggairahkan nafsu birahi. Setelahnya mendapatkan mahkota, atas penilaian para pemburu nafsu di kursi kerakusan kapitalisme.

Bagian lembaran sejarah perempuan, merupakan sejarah pelecehan, perbudakan, pelampiasan hawa nafsu. Bahkan sejarah kelam yang menjadikan perempuan sebagai objek untuk dieksploitasi demi kepentingan para cukong budak materi.

Namun, dalam lembaran yang lain. Perempuan memainkan narasi sejarah yang menggunggah emosi, tentang perjuangan, pengorbanan bahkan  tentang kemanusiaan. Mereka hadir menjadi penyejuk kala nafsu di tumpahkan dalam perang-perang besar umat manusia. Perempuan tidak saja mengobati para militer yang roboh di medan pertempuran, tapi menjadi pelipur lara bagi mereka yang merindukan kedamaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun