Mohon tunggu...
Suprihadi SPd
Suprihadi SPd Mohon Tunggu... Penulis - Selalu ingin belajar banyak hal untuk dapat dijadikan tulisan yang bermanfaat.

Pendidikan SD hingga SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kuliah D3 IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY) dilanjutkan ke Universitas Terbuka (S1). Bekerja sebagai guru SMA (1987-2004), Kepsek (2004-2017), Pengawas Sekolah jenjang SMP (2017- 2024), dan pensiun PNS sejak 1 Februari 2024.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memasalahkan Jumlah Mata Pelajaran di Sekolah

12 Februari 2023   16:56 Diperbarui: 12 Februari 2023   17:00 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekobrik di SMP 1 PPU (dokpri)

Memasalahkan Jumlah Mata Pelajaran di Sekolah

Berapa jumlah mata pelajaran pada setiap jenjang sekolah formal? Sudah sering ada keluhan dari orang tua bahwa jumlah mata pelajaran di sekolah formal terlalu banyak. Anak-anak yang masih duduk di bangku SD kelas bawah terlihat kelelahan dalam mengerjakan tugas yang diberikan guru. Akibatnya para ibu, dan orang tua di keluarganya sibuk membantu mengerjakan tugas tersebut. Kakak, paman, bibi, bahkan kakek dan neneknya ikut terlibat dalam penyelesaikan tugas si bocah SD tersebut.

Guru akan senang jika PR semua siswa dikerjakan. Guru akan memberikan nilai bagus untuk hasil pekerjaan siswa yang lengkap dan benar. Sebaliknya, guru akan menegur siswa yang belum mengerjakan PR dan akan memberitahukan kepada orang tuanya.

Proses Lebih Penting daripada Hasil

Seorang guru harus lebih memahami bahwa proses atau tata cara mengerjakan tugas yang lebih penting. Bagaimana tahap demi tahap tugas itu dikerjakan sendiri oleh siswalah yang penting. Proses belajar atau cara menemukan hasil adalah sesuatu yang bermanfaat bagi siswa. Bukan hasil (output), jawaban, atau produk akhir yang harus diberi nilai.

Jerih payah, usaha, dan tahapan dalam menyelesaikan tugas itulah yang merupakan proses belajar seorang siswa yang perlu diapresiasi. Jika guru hanya mengutamakan hasil (produk), guru akan "tertipu" sebab pada umumnya produk yang dikumpulkan kepada guru bukan karya siswa. Boleh dikatakan 95 persen karya orang tua (keluarga) besar siswa tersebut.

Projek P5

Dalam Kurikulum Merdeka dikenal Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Aktivitas projek harus dikerjakan di sekolah (dan sekitarnya). Bukan di rumah. Guru melakukan pengamatan, pemantauan, dan pendampingan untuk menentukan "nilai" siswa tersebut.

Apakah siswa terlihat kreatif, mandiri, mau bergotong royong, inovatif, dan perilaku lain yang menunjukkan proses belajar siswa. Bukan hasil berupa produk yang dinilai.

Pada saat siswa mengikuti projek tertentu, guru bertindak sebagai fasilitator. Siswa yang bersangkutan yang harus melakukan aktivitas untuk mencapai tujuan. Misalnya, siswa harus melakukan wawancara, mengumpulkan data, praktik mengerjakan sesuatu sesuai tujuan, dan membuat kesimpulan, membuat bahan presentasi, dan sebagainya.

Anak Saya Tiga di SD

Ada kasus dalam satu keluarga mempunyai tiga anak. Anak ketiga kelas satu SD. Anak kedua kelas empat. Kemudian anak pertama kelas enam. Pada bulan yang sama, ketiga anak tersebut mendapatkan tugas yang berbeda dari guru kelasnya.

Anak yang kelas enam diberi tugas membuat produk kearifan lokal. Anak kedua, mendapatkan tugas mengamati pertumbuhan tanaman usia pendek semacam lombok, tomat, atau sayur sawi. Anak ketiga, mendapatkan tugas mengisi botol plastik ukuran besar dengan sampah plastik yang dipotong kecil-kecil. Istilah kerennya membuat ekobrik (ecobrick). Secara sederhana ekobrik adalah bata ramah lingkungan. Fungsi botol sebagai pengganti bata (bata merah atau bata semen) untuk membuat sebuah meja, kursi, pagar, atau hiasan yang menarik.

 Sang ayah dan ibu di rumah tidak tega melihat ketiga buah hatinya melakukan tugas itu seorang diri. Lebih-lebih anak ketiga, tugas memotong platik menjadi ukuran kecil tidaklah bisa dilakukan dengan cepat. Botol 600 ml cukup besar. Berapa lembar diperlukan bungkus plastik bekas yang dimasukkan dalam botol itu?

Anak kedua perlu dibantu dalam melakukan pembibitan cabe, tomat, atau sayur sawi. Perlu polybag. Perlu tanah subur. Perlu pupuk. Bukan asal tanam lantas bibit tumbuh sendiri. Ada aturan yang perlu dipatuhi karena semua tahap penananam, perawatan, hingga tanaman berbuah (siap panen) harus dicatat.

Anak pertama yang kebingungan pun perlu dibantu. Produk kearifan lokal apa yang cocok? Mau membatik, buat amplang, buat tempe, buat tahu, buat sirup, atau buat apa? Semua perlu pertimbangan dan bimbingan.

Itu baru tugas projek. Belum lagi tugas pelajaran (PR) seperti matematika, IPA, bahasa Indonesia, Pendidikan agama, dan yang lain.

Semua mata pelajaran ada tugas yang harus dikerjakan di rumah. Tidak tanggung-tanggung, waktu hanya dua atau tiga hari. Padahal, begitu banyak jawaban yang harus ditulis pada buku tugas (buku PR).

Bagaimana kalau anak belum lancar menulis tangan di buku tulis. Untuk menyelesaikan satu kalimat diperlukan beberapa menit. Bagaimana kalau kalimat yang harus ditulis beberapa halaman buku? Tentu waktu sang anak akan lebih banyak untuk mengerjakan tugas daripada bermain bersama teman-teman tetangga di rumah.

Saran Sederhana

Guru tidak perlu memberikan PR (tugas di rumah) terlalu banyak. Tugas tidak harus dituliskan jawabannya pada buku tulis. Guru harus kreatif dalam memberikan tugas, misalnya siswa cukup diminta merekam percakapan dengan seseorang (wawancara sederhana). Guru memberikan tugas agar siswa memotret atau mengambil gambar sebuah objek tertentu, misalnya papan nama RT (Rukun Tetangga), bak penampungan sampah di dekat rumah siswa, binatang piaraan di rumah, dan sebagainya.

Setelah tiba di sekolah, setiap siswa diminta bercerita tentang objek foto yang diperolehnya. Misalnya, sang anak memotret ayam piaraan di rumah. Guru dapat meminta siswa tersebut bercerita tentang ayam. Siapa yang memberi makan, bagaimana ayam itu bertingkah laku di halaman rumah, dan sebagainya.

Dengan memberikan tugas seperti itu, siswa akan lebih tertantang dan potensi diri akan muncul. Gaya bercerita, sikap dalam mengungkapkan pendapat, dan hal lain yang dapat menumbuhkan kepercayaan diri para siswa.

Bagaimana menurut Anda?

Penajam Paser Utara, 12 Februari 2023    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun