Mohon tunggu...
Suprapdi
Suprapdi Mohon Tunggu... Lainnya - Business Law

Akun Opini

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Problematika Pekerja Outsourcing di Indonesia

1 Desember 2021   10:43 Diperbarui: 1 Desember 2021   21:59 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: SmartPresence

Lapangan kerja dari tahun-ketahun semakin mengurang, dan tingkat pengangguran menjadi semakin bertambah. Hal ini menyebabkan para pekerja/buruh mencari pekerjaan apa saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, dan banyak juga yang menjadi bagian dari pekerja outsourcing dengan mendaftarkan dirinya kepada perusahaan pemborong pekerjaan atau penyedia jasa kerja. Para pekerja outsourcing ini nantinya akan ditempatkan pada perusahaan pemberi pekerjaan (pengguna jasa outsourcing).

Pada dasarnya  untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusianya, perusahaan sendiri dapat menggunakan dua jenis tenaga kerja yaitu: tenaga kerja tetap (tenaga kerja yang berasal dari dalam perusahaan) dan outsource (tenaga kerja yang berasal dari luar perusahaan/tenaga kerja kontrak). Pekerja tetap berfungsi sebagai sumber daya manusia inti perusahaan, sedangkan outsource berfungsi sebagai sumber daya manusia pelengkap yang jumlah dan waktu penggunaannya disesuaikan dengan kondisi yang sedang dihadapi perusahaan.

Outsourcing sendiri dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai alih daya. Pengertian dasar outsourcing adalah pengalihan sebagaian atau seluruh pekerjaan dan/atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakai jasa outsourcing baik pribadi, perusahaan, devisi, ataupun sebuah unit dalam perusahaan.

Terminologi outsourcing terdapat dalam Pasal 1601 KUHPerdata yang mengatur perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan, yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang kesatu, pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara eksplisit tidak ada istilah outsourcing, tetapi praktik outsourcing yang dimaksud dalam undang-undang ini dikenal dalam 2 (dua) bentuk, yaitu pemborong pekerjaan dan penyedia jasa pekerja/buruh sebagaimana dalam Pasal 64,65, dan 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Dalam menerapkan outsourcing telah menimbulkan banyak permasalahan, antara lain:

1. Sulit membedakan dan menentukan pekerjaan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan produksi walaupun setiap perusahaan diminta menyusun alur proses produksi, namun hasilnya tidak memuaskan;

2. Dalam hal perusahaan penyedia jasa kerja sulit menghindari diskriminasi antara pekerja tetap dan pekerja outsourcing;

3. Kondisi kerja di perusahaan pemborong ternyata kurang dari kondisi kerja di perusahaan pemberi kerja;

4. Tidak membangun sense of belonging pekerja atas perusahaan dan kurang membuka kesempatan untuk membangun karir pegawai sehingga mempunyai dampak negatif terhadap peningkatan produktivitas perusahaan dan hubungan industrial;

5. Timbul kesan yang dilakukan perusahaan untuk menghindari kewajiban pemenuhan hak-hak pekerja.

Berbagai permasalahan outsourcing tersebut, saya berpendapat bahwa sistem outsourcing yang muncul semenjak adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 64-66 itu merupakan suatu hal yang sangat merugikan para pekerja/buruh, karena dengan adanya outsourcing ini pekerja/buruh tidak mendapatkan kepastian hukum.

Kemudian hak-hak pekerja/buruh tidak dipenuhinya oleh perusahaan penyedia maupun perusahaan penerima tenaga kerja tersebut. Hal ini lah yang memunculkan kembali istilah budak pada waktu zaman jahiliah dulu, namun budak dalam sistem outsourcing ini merupakan budak modern atau yang sering kita kenal dengan budak globalisasi.

Selanjutnya, dalam sistem outsourcing ini, pekerja/buruh dieksploitasi oleh dua perusahaan (perusahaan penyedia jasa maupun perusahaan penerima jasa). Oleh karena itu, perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja outsourcing merupakan perusahaan yang mengeksploitasi pekerja/buruh (manusia). Seharusnya pemerintah hadir disini untuk memihak pekerja/buruh dan memperhatikan hal tersebut jangan hanya memihak kepada perusahaan-perusahaan saja dengan alasan untuk mengurangi pengangguran dan membuka lapangan kerja.

Dalam rangka mewujudkan dan mengamalkan nilai-nilai pancasila khususnya melaksanakan amanat dari sila kedua yaitu "Kemanusian yang adil dan beradab" dan sila kelima "Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia". Pemerintah disini harus membuktikan jiwa nasionalisme dan pancasilaismenya, maka pemerintah harus berani dan tegas untuk menghapus sistem outsourcing di Indonesia. Karena kemajuan suatu bangsa atau negara bukan ditentukan oleh banyaknya perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi dalam negara tersebut, melainkan ditentukan oleh rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya.

Wallahua'lam....... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun